by Ivan Andimuhtarom Jibi Solopos - Espos.id Solopos - Minggu, 28 Januari 2018 - 08:00 WIB
Esposin, SOLO -- Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Solo meminta DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menindak tegas rumah-rumah yang kini disewakan secara harian. Keberadaan rumah indekos ataupun rumah yang disewakan harian tersebut menggerus eksistensi hotel, khususnya nonbintang.
Kota Solo sebenarnya sudah memiliki Perda No. 9/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pemondokan. Dalam regulasi tersebut dijelaskan pemondokan dibagi menjadi dua yaitu rumah penginapan dan rumah indekos.
Rumah penginapan adalah rumah atau kamar yang disediakan untuk tempat tinggal dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Sedangkan rumah indekos adalah rumah atau kamar yang disediakan paling sedikit satu bulan.
Rumah penginapan adalah rumah atau kamar yang disediakan untuk tempat tinggal dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Sedangkan rumah indekos adalah rumah atau kamar yang disediakan paling sedikit satu bulan.
Kemudian pada 2017 DPRD membahas Perda Pajak Daerah. Dalam perda tersebut diatur rumah kos yang memiliki kamar lebih dari 10 masuk objek pajak hotel dan dikenai pajak 5 persen. PHRI juga mempertanyakan status rumah indekos yang disewakan harian dan rumah indekos yang memiliki kurang dari 10 kamar. Regulasi yang mengatur hal itu belum ada.
Baca:
PERPAJAKAN SOLO : Transaksi Pajak 100 Hotel dan Restoran Diawasi Secara Online
Sekretaris PHRI Solo, M. Nuryoto, mengatakan rumah indekos ataupun rumah yang disewakan harian menjadi ancaman bagi eksistensi hotel. Rumah indekos atau rumah yang disewakan hanya dikenai pajak 5 persen. Sedangkan hotel wajib membayar pajak 10 persen.
"Ada yang punya lima kamar ditawarkan melalui layanan online. Akhirnya banyak yang masuk ke penginapan. Apalagi harga mereka lebih murah dengan pajak bagi pengelola hanya 5 persen. Dampak terasa sekali bagi hotel," ujarnya saat ditemui wartawan seusai menghadiri Diskusi Kelompok Terbatas (DKT) Sekretariat DPRD Kota Solo di Ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD setempat, Jumat (26/1/2018).
Sebelumnya, ia menyampaikan aspirasi tersebut dalam forum. Ia meminta ada tindakan nyata dari DPRD dan Pemkot Solo.
Ia meminta Pemkot Solo tegas tentang beroperasinya rumah indekos tersebut. Pemkot harus berani mengambil tindakan tegas karena hal itu telah merugikan hotel-hotel lain.
"Saya belum tahu berapa persen penurunan okupansi. Tapi sejak lama kami sudah mengimbau Dinas Pariwisata untuk melakukan operasi penertiban. Dulu pernah, tapi sekarang tak pernah lagi," paparnya.
Menurutnya, penginapan berbasis rumah tinggal itu secara terang-terangan menawarkan via online. Saat ini, terdapat 118 hotel yang tergabung dalam PHRI Solo. Dari jumlah itu, 49 di antaranya hotel berbintang. Sisanya atau 69 hotel adalah hotel nonbintang. "Dampaknya sangat terasa," tuturnya.
Ia mengaku tak tahu apakah rumah yang disewakan itu memiliki asosiasi atau tidak. Tetapi pemerintah seharusnya mengontrol keberadaan penginapan tersebut.
Pada bagian lain, Ketua PHRI Abdulah Suwarno pernah mengatakan pentingnya sertifikasi hotel dan pekerjanya. Sertifikasi akan membuat pelayanan memiliki standar kualifikasi tertentu.
“Jadi tamu hotel bintang tiga di Solo, Semarang atau Bangkok, Thailand mendapat pelayanan yang sama. Jangan sampai kurang dari standar,” terangnya beberapa waktu lalu.
Anggota Pansus Raperda Pajak Daerah, Ginda Ferachtriawan, mengatakan dalam regulasi tidak ada istilah indekos harian. Usaha indekos yang dimaksud adalah rumah yang disewakan dengan pembayaran bulanan.
Jika ada yang harian, maka nantinya indekos tersebut dikenakan pada pajak hotel dan restoran, mengingat hanya hotel yang menyewakan secara harian. “Raperda itu sudah disetujui, tetapi belum diundangkan,” jelasnya.