by Rudi Hartono - Espos.id Solopos - Kamis, 26 November 2020 - 23:15 WIB
Esposin, WONOGIRI — Debat publik pasangan calon bupati-calon wakil bupati Wonogiri dinilai kering karena tak menyajikan banyak data. Debat pun sekadar beradu asumsi. Padahal, dengan memanfaatkan data pernyataan pasangan calon (paslon) akan lebih berkualitas, sehingga bisa meyakinkan publik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wonogiri menggelar debat publik di Ball Room Hotem Best Western Premier, Solo Baru, Sukoharjo, Kamis (26/11/2020) pukul 14.00-16.00 WIB. Paslon yang berdebat, yakni paslon nomor urut satu, Hartanto-Joko Purnomo (Harjo) dan paslon nomor urut dua, Joko Sutopo-Setyo Sukarno (Josss).
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Solo, Prof. Dr. Mudofir, S. Ag., M.Pd seusai debat kepada Esposin mengatakan paslon sebenarnya memiliki kesempatan menyampaikan data dalam menjawab, menanggapi, bahkan bertanya. Dia mencontohkan, ketika Harjo mempertanyakan soal sulitnya investasi di Wonogiri, Josss sebagai petahana dapat menyajikan jawaban disertai data capaian/prestasi selama dia memimpin. Sayangnya, kesempatan itu tidak dimanfaatkan.
Wali Kota Solo Minta Jokowi Angkat Lagi Susi Pudjiastuti Jadi Menteri
Meski sebagai penantang yang belum pernah terlibat dalam pemerintahan, paslon Harjo mestinya mendebat petahana dengan data. Penantang memiliki cukup waktu untuk mengamati kondisi daerah dan menghimpun data sebagai modal untuk berdebat. Dari data itu penantang dapat menganilis kekurangan program yang telah dilaksanakan petahana lalu bisa menjadi bahan debat. Contohnya, ihwal investasi, penuntasan pendidikan, lainnya.
“Saya melihatnya tidak ada adu data, kering. Satu menyampaikan asumsi, pihak lainnya juga menjawab dengan asumsi. Menurut saya kurang kualitatif, datar saja,” kata Mudofir yang juga salah satu panelis debat publik pilkada Wonogiri itu.
Dari aspek penyampaian visi misi dan program, dia berpendapat kedua paslon kurang mampu menjelaskan lebih riil. Paslon Harjo yang ingin menjadikan Wonogiri lebih bermartabat, tetapi visi itu tak diterjemahkan dengan definisi yang lebih teknis sehingga bisa menjadi tagline, misalnya pembangunan jasmani dan rohani.
“Sebenarnya bahasan di debat sudah menarik. Misalnya ketika ada pertanyaan mengapa pembangunan tidak justru menyediakan pekerjaan, sehingga mengurangi urbanisasi. Pertanyaan itu dijawab dengan mengulas soal kultur urbanisasi, sehingga penyelesaiannya bertahap. Sayangnya tidak ada program yang bisa menjawab permasalahan itu. Misalnya, Wonogiri yang bergunung-gunung dijadikan lebih subur dengan memanfaatkan teknologi. Paslon seperti pasrah pada kondisi yang ada saja,” imbuh Mudofir.
Panelis lainnya, Prof. Dr. Ir. Sutardi, M.App.Sc, Guru Besar Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Rektor Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, memberi pandangan dengan perspektif berbeda.
Cat Jaga Jarak Pudar, Pengendara Motor Berhenti Sembarangan Hingga Berkerumun
Dia menilai debat berjalan timpang karena penantang kurang mampu menguasai materi mengingat belum pernah menjalakan pemerintahan. Akibatnya, kadang pernyataan paslon tak relevan dengan pertanyaan. Sedangkan, petahana lebih mampu menyajikan argumentasi yang bisa diterima lantaran pernah menjalankan program.
“Paslon nomor urut satu seperti hanya maido. Tapi misalnya maido kemudian ditimpali dengan solusi untuk menjawab hal yang dirasa kurang pas atas jawaban petahana, sebenarnya bisa menjadi daya tarik yang ampuh bagi publik,” ujar Sutardi.