Langganan

Seniman Solo yang "Menikahi" Peri Itu Tutup Usia - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Ahmad Kurnia Sidik  - Espos.id Solopos  -  Minggu, 18 Agustus 2024 - 07:11 WIB

ESPOS.ID - Perwakilan seniman Solo sekaligus mantan Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo saat memberi kata pelepasan dalam persemayaman di Pendopo Wisma Seni TBJT, Sabtu (17/8/2024) siang. (Solopos.com/Ahmad Kurnia Sidik).

Esposin, SOLO —Seniman Prawoto Mangun Baskoro alias Kodok Ibnu Sukodok tutup usia  di RSUD Moewardi Solo, pada Jumat (16/8/2024) sekitar pukul 17.45 WIB,

Berdasarkan informasi yang dihimpun Esposin, lelaki yang akrab disapa Mbah Kodok mengembuskan napas di usianya 73 tahun. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, akan tetapi disemayamkan terlebih dahulu di Pendopo Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) pada Sabtu (17/8/2024) sekitar pukul 09.00 WIB untuk kemudian disalatkan di musala TBJT dan selanjutnya dimakamkan di TPU Pracimalaya, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo, pada hari yang sama sekitar pukul 14.30 WIB.

Advertisement

Selama disemayamkan di Pendopo Wisma Seni TBJT itu, keluarga, sahabat seniman, serta pejabat lainnya memberikan penghormatan terakhir kepada lelaki yang juga dikenal sebagai murid dari Willibrordus Surendra Broto atau WS. Rendra.

Pantauan Esposin di lokasi tampak ratusan orang dengan berbagai usia menghadiri persemayaman. Mereka memberi penghormatan terakhir dan mendoakan kebaikan kepada Mbah Kodok. Di antara ratusan orang yang datang silih berganti itu pula tampak salah satu musikus Tanah Air, Iwan Fals.

Selain itu, juga tampak mantan Wali Kota Solo, FX. Hadi Rudyatmo yang kemudian memberi sambutan pelepasan jenazah Mbah Kodok. Rudi yang saat itu mewakili para seniman Solo menyampaikan bahwa Mbah Kodok merupakan seniman yang menjadi panutan para seniman lainnya, baik di Solo maupun di luar Solo.

Advertisement

Karena itu pula, ia mengajak para seniman lainnya untuk mendoakan Mbah Kodok agar mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan.

“Saya turut berdukacita atas berpulangnya seniman, budayawan Mbah Kodok. Semoga diberi tempat yang layak di sisi Tuhan,” kata Rudi.

Pada kesempatan yang sama, salah satu seniman sahabat Mbah Kodok, ST. Wiyono mengenang  sosok Mbah Kodok. Dimulai dari sepak terjang Mbah Kodok yang mulanya dari kampung, kemudian masuk Bengkel Teater, Sanggar Jejak ISI Solo, dan kemudian menetap di Wisma Seni TBJT hingga akhir hayatnya.

Selain itu, lanjut dia, apa yang dikerjakan oleh Mbah Kodok itu luar biasa, ia teater, melukis, mencipta lagu, menyanyi, sekaligus.

Advertisement

“Dia [Mbah Kodok] penyanyi yang luar biasa. Penyanyi keroncong. Dengan suara khasnya, agak serak-serak rock, tapi [bernyanyi lagu-lagu] keroncong. Dan satu lagu yang dia sangat sukai itu [lagu] Tanah Airku,” jelas ST. Wiyono.

Kemudian, ST. Wiyono melanjutkan menceritakan ulang dua cerita, di mana cerita yang pertama ia dapatkan langsung dari Mbah Kodok. Begini,

“Mbah Kodok pernah dinikahkan oleh Mas Willi [WS. Rendra]. Di suruh menikah, mendatangkan wayang,” kata dia.

Namun, ketika hari pernikahan tiba dan semua persiapan sudah matang. Dalang beserta wayangnya pun sudah datang, Mbah Kodok dan calon mempelainya tidak ada yang datang. “Nikahnya gak jadi tapi wayangannya tetap jalan,” ungkap ST. Wiyono yang kemudian disambut gelak tawa hadirin siang itu.

Advertisement

Cerita kedua, ia perhatikan langsung dari sosok Mbah Kodok. Cerita ini yang kemudian menggegerkan jagat kesenian dan sosial di Jawa. “Mbah Kodok nikah lagi, dengan Peri. Di Ngawi sana, teater yang luar biasa terjadi. Sing nyirami almarhum Mbah Prapto,” ungkapnya.

Hal itu kemudian yang menjadi tanda tanya bagi beberapa orang. Sementara, ST Wiyono sendiri mengaku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kala itu.

“Itu teater yang sangat luar biasa. Apakah itu sungguh-sungguh atau tidak, kita semua tidak tahu. Tapi saya selisik, katanya dia sering ketemu, tapi tidak bisa mendatangkan,” pungkasnya.

Peri yang dinikahinya itu kemudian diketahui khalayak memiliki nama Roro Setyawati. Pernikahan sekitar 2014 lalu itu dilakukan layaknya pernikahan sesama manusia lainnya, menggunakan adat Jawa. Pengantin lelaki, yakni Mbah Kodok mengenakan blangkon, berkain, serta sandal selop hitam. Sementara, pengantin perempuan yang seharusnya duduk di samping tak tampak apa-apa kecuali sanggul perempuan yang ditelungkupkan bersama kebaya dan kain di atas kursi.

Advertisement

Tak cukup di situ, setiap prosesi nikah pun juga dijalankan, seperti midodareni, siraman, dan ijab yang didampingi oleh dukun nikah. Mbah Kodok bahkan menyebar undangan kepada ratusan tamu, termasuk seniman-seniman Tanah Air.

Sebagai informasi, pernikahan yang dilakukan dengan Peri itu, menurut pengakuan Mbah Kodok dalam wawancaranya di Majalah Garis Bawah edisi Mei 2016 bahwa sengaja dilakukan sebagai bentuk kecintaannya kepada alam.

Teater yang kemudian menjadi “legenda baru” itu dikerjakannya bersama seniman sahabatnya yang berasal dari Ngawi, Bramantyo. Mereka adalah seniman yang sangat peduli dengan alam. Mereka, melalui pernikahan dengan Peri Setyawati menceritakan bahwa Peri Setyawati itu memiliki ‘rumah' di dua mata air di Hutan Desa Begal, Kedunggalar, Ngawi, yakni Sendang Margo dan Sendang Ngiyom.

Dengan begitu, mereka berharap masyarakat bisa menjaga kelestarian dua mata air yang ada itu. Dan hasilnya benar-benar mendorong masyarakat secara antusias menjaga kelestarian kedua mata air. Menurut pemberitaan Esposin pada Minggu (7/6/2015) lalu mencatat bahwa warga sekitar antusias untuk mendukung dibangunnya kembali ‘rumah Peri Setyawati’ yang merupakan kiasan dari akan ditanamnya kembali pepohonan di hutan yang sebelumnya sempat gundul itu.

Sosok Egaliter

Memiliki nama besar dalam kesenian tak membuat Mbah Kodok lupa diri, haus pujian, atau menganggap rendah seniman lain. Justru sebaliknya, kesan yang didapat oleh pegiat kesenian lainnya adalah persamaan rasa, egiliter, dan saling menghargai.

Hal itu yang dirasakan oleh salah satu pegiat kesenian teater Kelompok Bermain Bakat Solo (KBBS), Dimas Sura Aji. Ia mengaku mengenal Mbah Kodok sejak 11 tahun lalu.

“Pertama bertemu dan kenalan dengan Mbah Kodok itu justru enggak dalam acara kesenian, tapi di acara nyangklong. Kalau enggak salah 2013,” jelas DS. Aji, sapaan akrabnya saat berbincang dengan Esposin di Makamhaji seusai pemakaman Mbah Kodok, Sabtu (17/8/2024) siang.

Advertisement

Dari perkenalannya itu, DS. Aji menangkap kesan ramah dan ceria dari sosok Mbah Kodok. Tak hanya itu, lanjut dia, ternyata Mbah Kodok sendiri kerap mengikuti perkembangan KBBS yang ia dirikan itu dengan cara menonton setiap pementasannya di TBJT.

“Mbah Kodok selalu mengapresiasi pementasan kami. Tidak membiarkan begitu saja, bahkan terus memberi kritik dan saran sesuai pementasan. Dia memberi tahu apa yang kurang dari pementasan kami,” kata dia.

Dan terakhir kali, sebelum berpulangnya Mbah Kodok, kata DS Aji, ia dan teman-temannya sempat berkunjung ke Mbah Kodok awal 2024 lalu.

“Beliau berpesan, jangan putus semangat dalam berteater. Karena dengan itu memungkinkan kalian terus mencari tahu hal-hal yang kalian ingin tahu atau tidak ingin. Mulai dari cerita, pengorganisasian, susah senang saat latihan, dan lainnya,” kata DS. Aji sambil menirukan gaya bicara Mbah Kodok.

Tak lupa, ia juga menceritakan sebuah cerita yang didapatnya langsung dari Mbah Kodok tentang perubahan nama Prawoto Mangun Baskoro menjadi Kodok Ibnu Sukodok. Nama Kodok melekat karena kebiasaan saat kecil senang menangkap kodok.

“Sementara Ibnu Sukodok itu nama tambahan yang diberi oleh gurunya, yaitu WS. Rendra,” pungkasnya.

 
Advertisement
Anik Sulistyawati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif