by Magdalena Naviriana Putri - Espos.id Solopos - Minggu, 6 Maret 2022 - 08:00 WIB
Esposin, BOYOLALI -- Dalam tradisi Jawa, mendem (mengubur) ari-ari atau plastenta merupakan adat istiadat yang lumrah dilakoni usai melahirkan. Salah satu daerah yang masih menjalankan tradisi tersebut adalah Desa Pulisan, Boyolali.
Menurut kepercayaan turun-temurun, ari-ari dianggap sebagai kembaran sang jabang bayi ketika berada dalam kandungan. Selain itu ari-ari telah dianggap berjasa dalam menjaga sang bayi, sehingga perlu diberikan tempat yang layak, yakni ritual khusus yang dikenal dengan istilah mendem ari-ari.
Selain itu dalam pandangan medis, ari-ari akan jauh lebih tepat ketika dikubur dibandingkan jika dibuang sembarangan. Hal itu karena berisiko membusuk dan mengundang bakteri, yang justru mendatangkan penyakit.
Baca juga: Bhre Cakrahutomo Jadi Mangkunegara X Sesuai Tradisi Mataram
Baca juga: Bhre Cakrahutomo Jadi Mangkunegara X Sesuai Tradisi Mataram
Seorang anggota Tim Penggerak PKK Kelurahan Pulisan, Boyolali, Sri Indrati, 59, menceritakan tradisi mendem ari-ari yang sering dilakukan warga setempat. “Pertama-tama ari-ari setelah keluar dari kandungan kita cuci sampai bersih, setelah itu dimasukkan ke tempat khusus, biasannya dari tanah liat seperti kendil yang khusus tempat ari-ari, kalau bisa baru,” kata Indrati, kepada Esposin, Sabtu (5/3/2022).
“Doanya biasanya dibacakan mbah [kakek/nenek] dari ibu atau mbah dari bapak. Kalau tidak ada [kakek/neneknya] boleh orang tuanya,” katanya.
“Diusahakan lampu itu jangan sampai mati, pertama untuk penerangan saja, biar anak itu tidak bingung, ya istilahnya kalau gelap itu kan nanti anak yang baru lahir bingung. Kalau bisa minimal satu tahun [penerangannya]. Kalau kepepet ya selapan [40 hari] tidak apa-apa," jelasnya.
Baca juga: Cerita di Balik Makam Empu Supo, Adik Ipar Sunan Kalijaga di Boyolali
Sementara itu, warga Dusun Sidomulyo, Desa Pulisen, Yanto, 65, menyatakan sebelum dimasukkan dalam kendil, ari-ari harus dibungkus menggunakan daun dadap serep. Ritual atau tradisi tersebut di Boyolali biasa disebut dengan Batir.
Selain itu menurutnya, kertas yang dimasukkan juga harus di tuliskan namanya, diberikan pensil, jarum, ada beberapa pula yang memasukkan garam dalam kendil tersebut. Berbeda dengan Indrati, Yanto mengatakan ari-ari tidak boleh dikuburkan terlalu dalam.
“Jangan terlalu kejeron [dalam], biasanya nanti kalau terlalu jero [dalam] giginya akan sulit tumbuh, maksimal 30 cm biar cepet tukul [cepat tumbuh giginya],” kata pria berambut putih itu.
Senada disampaikan Wanti, 55, yang juga warga Desa Pulisen. Ia menilai tradisi Batir bertujuan menghantarkan doa agar sang jabang bayi mendapat pencerahan, senang hatinya, dan pintar. Selain itu dia juga menjelaskan letak posisi penguburan ari-ari.
“Ari-ari ditaruh dalam kendil yang ada tutupnya diberi bunga, kertas, dan pensil. Kalau [bayi] laki-laki ditaruh dari depan pintu rumah di sebelah kanan, kalau perempuan di sebelah kiri,” katanya.