by Wahyu Prakoso Suharsih - Espos.id Solopos - Selasa, 12 April 2022 - 07:16 WIB
Esposin, SOLO -- Tugu Cembengan yang berada di wilayah Kecamatan Jebres, Solo, cukup terkenal di kalangan warga Kota Bengawan. Keberadaannya menjadi semacam penanda atau patokan ketika orang menanyakan arah ataupun alamat di kawasan Jebres.
Dilihat dari lokasinya, Tugu Cembengan memang sangat strategis karena merupakan titik pertemuan arus lalu lintas dari arah pusat kota, Terminal Tirtonadi serta dari arah Sragen, Ngawi, dan Jawa Timur. Tugu ini juga menjadi lokasi orang naik turun bus.
Terlepas dari keberadaannya yang sangat penting sebagai penanda wilayah, Tugu Cembengan juga memiliki cerita asal usul yang bernilai sejarah tinggi, khususnya bagi warga keturunan Tionghoa di Kota Solo.
Baca Juga: Asal Usul Tugu Cembengan Jebres Solo, Ternyata Dulu Pintu Masuk Kuburan
Baca Juga: Asal Usul Tugu Cembengan Jebres Solo, Ternyata Dulu Pintu Masuk Kuburan
Tugu Cembengan di wilayah Jebres, Solo, diperkirakan berusia kurang lebih 100 tahun, tepatnya dibangun pada masa Paku Buwono (PB) X berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1893 – 1939).
Berdasarkan informasi di laman resmi Pemkot Solo, surakarta.go.id, berdirinya tugu ini sebagai penanda menuju ke pemakaman khusus warga Tionghoa yang berada di timur laut kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Baca Juga: Tradisi Ching Bing, Sadranan Ala Masyarakat Keturunan Tionghoa Di Solo
Pengasuh Lithang Gerbang Kebajikan Solo, Adjie Chandra, menjelaskan sebelum dibangun Thiong Ting, dulu sekitar wilayah Tugu Cembengan banyak kuburan orang Tionghoa yang terlantar.
"Mereka merupakan korban perang saat Geger Pecinan. Saat itu orang China dibunuh lalu dimakamkan di sini,” kata Adjie saat diwawancarai Esposin, Minggu (10/4/2022).
Baca Juga: Sembahyang Ching Bing, Potret Tradisi Sadranan Warga Tionghoa di Solo
Adjie melanjutkan umat Konghucu diwajibkan menghormati leluhur karena mereka merupakan orang yang berjasa semasa hidupnya lewat tradisi Ching Bing. Umat memberikan penghormatan dengan menyediakan sesaji yang memiliki makna.
Saat upacara Ching Bing tersebut, Adjie menjelaskan orang-orang keturunan Tionghoa akan berdatangan ke makam yang dulu berada di pinggiran kota dan dekat ladang tebu di wilayah Kelurahan Jebres. Para mandor tebu biasanya berkeliling lalu melihat ahli waris keturunan Tionghoa melakukan tradisi Ching Bing saat kondisi tebu berbunga.
“Lagi ngapain to itu? Lagi Ching Bing-an lalu muncul istilah Cembengan,” paparnya menirukan percakapan antara mandor dan pekerja perkebunan tebu dengan warga keturunan Tionghoa kala itu.
Baca Juga: Pemkab Karanganyar Tertarik Garap Tradisi Cembengan
Namun, warga keturunan Tionghoa tetap melaksanakan upacara Ching Bing di dekat Tugu Cembengan, Jebres, Solo, tepatnya di rumah duka Thiong Ting, tak jauh dari tugu.
"Di sini merupakan rumah duka dan kami berkewajiban melakukan tradisi Ching Bing. Yang bisa menyembahyangi dari Konghucu. Walaupun makam telah dibongkar dan tulangnya dikremasi lalu dipindah. Kami tetap menjalankan di sini karena tradisinya begitu,” ujar Adjie.
Baca Juga: Di Balik Penamaan Wilayah Solo: Dari Tumbuhan, Tokoh, Hingga Jabatan
Ching Bing jatuh setiap 5 April namun pelaksanaan tradisi itu bisa dilakukan 10 hari sebelumnya atau 10 hari sesudahnya. Penghitungan 5 April yakni dari 104 hari setelah sembahyang Ronde 22 Desember atau saat sembahyang musim dingin di China.
Dalam upacara tradisi ini, umat Konghucu beribadah menghadap ke altar Tuhan di depan klenteng di halaman Thiong Ting. Ada lima dupa untuk sembahyang yang mencerminkan lima benih kebaikan yang diberikan Tuhan kepada manusia, yakni kasih sayang, kebenaran, sopan santun/adat istiadat/kesusilaan, kecerdasan, dan dapat dipercaya.