by Tri Rahayu - Espos.id Solopos - Jumat, 6 Agustus 2021 - 20:40 WIB
Esposin, SRAGEN — Puluhan peternak bebek di kampung bebek, tepatnya di Dukuh Kajen, Desa Celep, Kedawung, Sragen, mengalami gulung tikar lantaran terdampak pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Para peternak bebek yang masih bertahan merugi karena harga jual bebek pedaging anjlok dari Rp25.000/kg menjadi Rp19.000/kg.
Para peternak bebek itu mendesak kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen memperhatikan nasib para peternak bebek di Kampung Bebek, khususnya di Kajen, Celep. Mereka kesulitan mencari bakul yang mau membeli bebek pedagingnya karena banyak warung dan rumah makan yang tutup akibat kebijakan PPKM.
Baca juga: Dinas dan Badan di Sragen Dapat Tugas Tambahan terkait Vaksinasi Covid-19, Apa Itu?
Baca juga: Dinas dan Badan di Sragen Dapat Tugas Tambahan terkait Vaksinasi Covid-19, Apa Itu?
Kampung bebek Kajen itu meliputi lingkungan RT 024 dan RT 025 dengan jumlah peternak sebanyak 40 orang. Populasi bebek di dua RT itu bisa mencapai 20.000-30.000 ekor. Selain di Kajen, ada Kampung Bebek Nusupan, Celep, tetapi populasinya lebih sedikit karena merupakan peternak bebek petelur.
Ketua RT 024, Kajen, Celep, Wiyono, 40, merupakan salah satu peternak bebek yang cukup besar. Ia memiliki 5.000 ekor bebek dengan variasi umur bebek, mulai dari meri hingga bebek yang siap jual dengan bobot 1,8 kg per ekor.
Baca juga: PPKM Bikin Pelaku Usaha di Boyolali Kesulitan Bertahan
“Kami tidak butuh bantuan beras atau sembako. Hanya butuh bebek-bebek peternak itu bisa laku. Juga kami bisa memiliki bakul yang rutin. Selama ini bebek-bebek di Kajen ini menyuplai kebutuhan bebek pedaging di Soloraya. Bakul-bakul kami itu ada yang dari Sukoharjo dengan suplai barang ke Solo, Klaten, dan sekitarnya. Sejak adanya PPKM, pengambilan mereka berkurang sampai 50%. Biasanya bisa ambil 500-600 ekor per hari, sekarang maksimal tinggal 300 ekor per hari karena mereka kesulitan menjual juga mengingat warung dan rumah makan tutup,” jelasnya.
Wiyono menerangkan di saat susahnya penjualan bebek, peternak tetap memikirkan pembelian anakan bebek dari pabrikan. Dia mengatakan kalau sekali tidak order anakan bebek maka seterusnya tidak akan dijatah anakan bebek. Wiyono setiap bulan dijatah 8.000 ekor anakan bebek dengan uang senilai Rp90 juta. Di satu sisi persoalan pakan bebek yang dominan dari bekatul.
“Harga bekatul sekarang itu lebih mahal daripada harga gabah. Harga gabah Rp3.500/kg tetapi harga bekatul sampai Rp4.400/kg. Naiknya harga bekatul itu karena tidak ada selepan yang beroperasi karena melimpahnya stok beras,” jelasnya.
Peternak bebek lainnya di Kajen RT 025, Aan Indra Winata, 39, menambahnya anjloknya harga bebek pedaging itu akibat kebijakan PPKM. Dia mengatakan para peternak sudah mengadu ke pemerintah desa tetapi tidak diberi solusi. “Kebetulan saya dan Pak Wiyono punya bakul yang komitmen meskipun harga anjlok. Tetapi bagi peternak kecil tidak bisa produksi lagi karena bebek mereka laku dengan cara diutang bakul.
“Kami tidak butuh bantuan tetapi kami butuh diperhatikan dari pemerintah. Kami didatangi dikasih motivasi saja sudah senang. Selama ini kami tidak diperhatikan pemerintah. Kadang kami hanya dijadikan alat untuk mencari bantuan tetapi belum ada bantuan bebek yang masuk ke Kajen. Peternakan bebek ini sebelum pandemi benar-benar bisa mengangkat ekonomi warga dan meringankan beban pemerintah. Namun, di saat situasi sulit kami tidak diperhatikan,” katanya.