by Ichsan Kholif Rahman - Espos.id Solopos - Sabtu, 30 November 2019 - 20:00 WIB
Siapa sangka, ustaz yang dikenal dengan ceramah penuh makna yang disertai guyonan itu pernah mendekam di balik jeruji besi. Tak tanggung-tanggung, dia mengaku tujuh kali dibui.
Dari maling kelas teri hingga perampokan ala film laga pernah dijalani Ustaz Jabrik. Dari hanya modal nekat hingga menodongkan senjata api ke korban-korbannya si Jabrik lakukan dengan gagah berani. Dihajar massa seolah menjadi bonus pengantar masuk rutan yang akan memberinya tempat tidur, makan, dan minum gratis lengkap dengan gelar residivis.
Curi sepeda selepas SMA
Curi sepeda selepas SMA
Jabrik adalah julukan yang diperoleh saat kali pertama Sri Mulyono mendekam di balik jeruji besi di Rutan Solo. Sepeda kayuh yang dicuri mengantarnya merasakan sel penjara yang sesak sesaat setelah lulus SMA.
“Tahun 1985 seharusnya saya masuk kuliah tapi saya justru masuk penjara pertama kali. Kuliah saya pindah di penjara, berbagai ilmu kejahatan saya peroleh. Hasilnya, setelah mencuri sepeda, karier melesat, saya dibui karena mencuri sepeda motor masih di usia belasan tahun,” ujarnya saat berbincang dengan Esposin di sela-sela kegiatannya mengajar Kamis (21/11/2019).
Jadi perampok di Ibu Kota
Kebanggaan muncul menjadi seorang kawanan perampok. Bukan jadi jambret yang beraksi mencuri uang kembalian atau perhiasan perempuan yang pulang dari pasar. Berambut gondrong dengan membawa senjata api yang ia sembunyikan di dalam jaketnya, mata Jabrik mengawasi para calon mangsa.
Saat telah memilih seorang yang “beruntung,” ia berkoordinasi dengan perampok yang bertugas menjadi sopir. Jalanan macet Jakarta langsung menjadi ruang bekerja Jabrik yang langsung menodongkan pistol ke tubuh target meskipun ia ragu untuk menarik pelatuk.
“Rasa mengarahkan pistol ke orang itu biasa saja. Semula ya deg-degan seperti saat saya mencuri sepeda dulu. Tapi kelamaan rasanya bangga saat berhasil merampok, kalau apes ya balik lagi dibui. Penjara itu bukan beban, biasa saja,” ujarnya.
Aksi Jabrik bersama timnya pada 1988 itu berhasil membawa pulang Rp64 juta dari tiga kali perampokan. Namun, sama dengan kejahatan sebelumnya, Jabrik harus kembali mendekam di penjara. Dia dihukum kurungan empat tahun kurungan di LP Cipinang, Jakarta Timur, oleh Majelis Hakim.
Sejak 1985 hingga 1992 Jabrik sudah merasakan dinginnya Rutan Solo sebanyak tiga kali, Rutan Sragen sekali, Rutan Jogja dua kali, dan dua kali di LP Cipinang. Kala itu, baginya penjara bukanlah beban.
Bersambung…