Langganan

Potret program padat karya - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Redaksi  - Espos.id Solopos  -  Senin, 19 September 2011 - 08:00 WIB

ESPOS.ID - More than just publish.

”Ini bukan desa!”

Advertisement

”Ini bukan desa. Di desa tak ada kredit koperasi yang macet. Di desa tak ada warga yang berani nunggak dengan risiko berkelahi. Ini kota. Di kota semuanya bisa terjadi. Termasuk perang mulut supaya utang tak perlu dilunasi. Di desa mana berani,” ujar pengajar kursus gratis untuk warga Sangkrah, Sri Hastuti, Minggu (18/9/2011).

Tuti sapaan akrabnya siang itu sedang bersantai. Dengan busana panjang warna merah muda, di depan kediamannya yang berada di dalam Kompleks SD Islam Cokroaminto, Sangkrah, Tuti berbincang dengan Espos.

Advertisement

Tuti sapaan akrabnya siang itu sedang bersantai. Dengan busana panjang warna merah muda, di depan kediamannya yang berada di dalam Kompleks SD Islam Cokroaminto, Sangkrah, Tuti berbincang dengan Espos.

Wanita berkerudung itu bercerita, kolam lele dari program padat karya di Sangkrah, Pasar Kliwon pernah panen sekali.

”Saya pun saat itu dapat bagian. Hanya karena saya tak suka lele, ikan itu saya berikan ke teman. Habis panen sekalinya itu, sepertinya kolam tak pernah lagi digunakan,” ujarnya.

Advertisement

”Saya lihat yang tiap hari ngecek kolam cuma Pak Kono (mantan ketua RW-red) dan Pak Katak (Giyarso, pengelola-red). Tidak ada orang lain padahal kan program itu untuk pengangguran,” ujarnya.

Sebaliknya, imbuh Tuti, baik Giyarso maupun Sukono tidak bisa dikategorikan sebagai pengangguran maupun warga usia produktif. Tuti mengungkapkan dirinya yakin apabila program padat karya produktif dipertahankan, hasilnya tidak akan maksimal.

”Cuma pemborosan kalau padat karya diteruskan. Yang lebih cocok untuk warga sebenarnya adalah keterampilan, modal dan pengawasan,” ujarnya.

Advertisement

Pengawasan menjadi unsur penting karena karakter warga kota dan desa berbeda. Kegagalan program padat karya, imbuh Tutik bisa dilihat dari stagnan bahkan bertambahnya angka kemiskinan di Kota Bengawan.

Berpegang kepada pemikiran Tuti, menilik data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Solo, angka kemiskinan sejak 2007 bukannya menurun namun malah menunjukkan kenaikan.

Apabila membandingkan SK Walikota No 470/36/1/2007 yang menyebutkan jumlah Gakin sebanyak 89.515 orang, jumlah itu membengkak menjadi 125.600 orang berdasarkan rilis Bappeda terbaru melalui Tim Koordinator Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPD).

Advertisement

Mencermati data tersebut dapat disimpulkan angka kemiskinan bertambah rata-rata 9.021 orang per tahunnya.

Hal senada disampaikan pengelola kolam belut Sondakan, Laweyan, Ichwan. Dikatakannya walau permodalan penting namun yang tidak kalah penting adalah Pemkot membuka akses jaringan usaha untuk masyarakat.

”Percuma kan diberi keterampilan serta modal tapi tak bisa jual. Yang namanya warga miskin akses dasar saja susah apalagi sampai ke jaringan usaha, tidak tahu apa-apa,” ujarnya.

Dengan kompleksnya skill bagi pengusaha, lanjut Ichwan, itulah sebabnya mengapa masyarakat lebih memilih lapangan kerja yang sifatnya hanya membutuhkan tenaga fisik.

Sekretaris Komisi IV DPRD Solo, Abdul Ghofar, menyayangkan hingga saat ini Dinsosnakertrans tidak pernah mengomunikasikan kegiatan padat karya produktif.

”Hingga saat ini saya belum tahu soal program padat karya. Setahu saya itu kan program pembantuan. Karena tidak ada komunikasi, selama ini kami pun kesulitan dalam melakukan pantauan dan pengawasan.”

(Ayu Prawitasari)

Advertisement
Nadhiroh - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif