by Redaksi - Espos.id Solopos - Senin, 16 Januari 2012 - 19:29 WIB
Kepada Espos akhir pekan lalu, para pedagang menyebut di lantai II pembelinya sangat sedikit dan harga kios yang dipatok sangat tinggi, sekitar Rp 12 juta untuk los ukuran 2 meter x 1 meter. Pedagang bumbon di dekat Lapangan Merdeka, Iman Sajuri, menjelaskan dia lebih nyaman berjualan di kawasan lapangan tersebut. Selain lokasinya yang strategis, dia juga tidak perlu membayar biaya sewa tempat.
Dua tahun pertama saat Pasar Delanggu dibuka kembali setelah dipugar, Iman ikut pindah ke dalam area pasar tersebut. Namun, karena selama dua tahun itu sangat sepi dari pembeli, akhirnya dia memutuskan pindah tempat ke kawasan Lapangan Merdeka. Iman juga merasa sangat terbebani dengan harga kios yang mahal. ”Bayangkan, kami berjualan saja enggak laku dan masih disuruh membayar kios dengan harga yang sangat mahal. Ya saya lebih memilih di sini ,” terangnya.
Penjual sayuran yang sering menggelar dagangannya di sekitar Lapangan Merdeka, Sri Suyani, menjelaskan meski diminta pindah ke dalam area Pasar Delanggu, dia tidak akan mau. Dia merasa sudah sangat nyaman berjualan di dekat lapangan. ”Ya pokoknya saya enggak mau pindah,” tegasnya.
Lurah Pasar Delanggu, Sigit Harjoko, saat dimintai konfirmasi menjelaskan pihaknya sering mengimbau para pedagang di Lapangan Merdeka agar masuk ke area pasar, namun tidak diindahkan. Setiap kali dilakukan koordinasi tidak pernah tercapai titik temu. Harjoko menjelaskan keberadaan mereka sangat merugikan karena mengganggu aktivitas pengguna jalan. Selain itu pengurus pasar menjadi rugi karena tidak bisa memenuhi target pendapatan yang ditetapkan sekitar Rp300 juta.
”Tahun kemarin saja hanya sekitar Rp60 juta pendapatan yang bisa kami hasilkan,” jelasnya. Menurut Harjoko mayoritas pedagang tidak mau menempati Pasar Delanggu karena harga kios yang terlalu mahal. Sedangkan pihak pengelola pasar tidak memiliki wewenang menurunkan harga kios tersebut karena itu ditetapkan investor yang merenovasi pasar. ”Bangunan ini kan hanya pasar HGB, jadi selama 25 tahun yang memiliki wewenang adalah investor yang merenovasi bangunan pasar,” jelasnya.
Harjoko menjelaskan hak guna bangunan (HGB) Pasar Delanggu sementara menjadi wewenang PT Karsa Bayu Bangun Perkasa bekerja sama dengan Pemkab Klaten dan pelaksana teknisnya pengurus pasar. Ketika pedagang ingin menggunakan kios di Pasar Delanggu, mereka harus mengurusi administrasi ke PT tersebut dan Pemkab. Rumitnya birokrasi tersebut juga membuat Harjoko kewalahan. “Saya juga bingung, pasar bermasalah kayak gini kok ditarget pemasukan senilai Rp300 juta,” jelasnya.
JIBI/SOLOPOS/Ika Yuniati