by Nimatul Faizah - Espos.id Solopos - Minggu, 9 April 2023 - 16:18 WIB
Esposin, BOYOLALI -- Puluhan anggota Komunitas Tuli Boyolali (Komtuboy) berkumpul di aula SLB YPCM Boyolali pada Sabtu (8/4/2023) sore. Mereka mengaji untuk mengisi waktu ngabuburit jelang berbuka puasa.
Mengaji ala Komtuboy tak banyak suara. Mereka mengandalkan gerakan jari untuk untuk membaca. Di tengah suara guyuran hujan deras yang menemani suasana belajar mengaji, para penyandang tunarungu Boyolali itu fokus memperhatikan arahan dari dua guru mereka.
Satu guru berasal dari teman dengar dan satu dari teman tuli. Mengaji dimulai dari huruf hijaiah ma, ba, wa, fa, dan seterusnya. Sukarelawan pengajar mengaji komunitas tuli Boyolali, Faqih Annisa, mengungkapkan pengajaran mengaji dimulai dari huruf hijaiah yang termudah dilafazkan.
“Ma, ba, wa, dan fa itu kan letak huruf keluar itu di bibir. Itu yang paling mudah diucapkan, kemudian baru ujung lidah sampai nantinya di tenggorokan,” ujarnya saat diwawancarai wartawan di sela-sela kegiatan.
“Ma, ba, wa, dan fa itu kan letak huruf keluar itu di bibir. Itu yang paling mudah diucapkan, kemudian baru ujung lidah sampai nantinya di tenggorokan,” ujarnya saat diwawancarai wartawan di sela-sela kegiatan.
Ia menyebutnya pembelajaran dari pelafazan termudah hingga tersulit tersebut dengan metode Bano for Deaf. Metode tersebut memanfaatkan 28 ruas jari manusia untuk menghafalkan huruf hijaiah.
Dalam praktiknya saat mengajar di komunitas Tuli Boyolali, Faqih dibantu salah satu penyandang tuna rungu yang menerjemahkan huruf hijaiah biasa ke huruf hijaiah versi bahasa isyarat.
“Bacaan salatnya juga diajarkan per suku kata. Mereka baca dalam hati juga boleh. Yang terpenting ketika mereka salat itu enggak kosong. Jadi mereka tahu apa yang harus disampaikan kepada Allah saat gerakan salat. Biar enggak hanya sekadar gerakan,” kata dia.
Semangat mengajar mengaji tuli datang dari pikiran untuk mengajar mereka lebih paham dengan agama Islam. Menurutnya, seorang yang beragama Islam penting harus bisa melaksanakan salat. Dalam salat ada bacaan-bacaan termasuk Al-Fatihah.
Lebih lanjut, Faqih mengatakan kegiatan Komunitas Tuli Boyolali mengaji pada Sabtu sore tersebut diikuti sekitar 80 peserta. Kegiatan tersebut sebenarnya telah rutin dilaksanakan di luar Bulan Puasa sepekan sekali.
Perbedaannya, pada bulan biasa kegiatan digelar pada bakda Zuhur hingga jelang Asar. Namun, pada momen Ramadan ini digelar khusus jelang berbuka untuk mengisi waktu ngabuburit.
“Tantangannya mengajar tuli dibanding dengar itu kami harus lebih telaten. Harus mengajarkan satu per satu. Harus dengan pengantar Bahasa Isyarat Indonesia [Bisindo], ekspresi, dan analogi ucapan semisal huruf ba bunyinya hampir sama dengan bapak,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Komunitas Tuli Boyolali, Aryanto, menjelaskan kegiatan tuli belajar mengaji telah berlangsung hampir dua tahun. Ia merasa senang dengan kegiatan yang dapat menambah ilmu pengetahuan teman-teman tuli Boyolali, termasuk mengaji.
Ia menceritakan dulu memang telah ada keinginan agar mayoritas tuli Boyolali yang beragama Islam dapat belajar mengaji. Namun, mereka kesulitan akses belajar.
“Terus kami cari tahu siapa teman dengar yang bisa membantu dan mengajar mengaji. Akhirnya ketemu dengan Faqih yang bisa membantu,” jelasnya dibantu juru bahasa isyarat, Faqih.
Ary menjelaskan pembelajaran mengaji oleh Tuli dilaksanakan pelan-pelan dan bertahap. Namun, ia mengaku teman-teman tuli menjadi lebih paham dengan pembelajaran agama yang diberikan Faqih karena menggunakan pengantar Bisindo.
“Ternyata belajar agama Islam mudah asalkan kami punya aksesnya. Harapannya semoga semua teman-teman tuli bisa terus semangat dan antusias untuk memahami Al-Qur’an,” kata dia.