by Tim Solopos - Espos.id Solopos - Selasa, 17 Januari 2023 - 00:11 WIB
Esposin, KLATEN -- Sungai Bengawan Solo wilayah Serenan, Juwiring, Klaten, menjadi saksi bisu peristiwa dramatis pendaratan darurat pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-300-Flight GA 421 pada 16 Januari 2002 atau 21 tahun lalu.
Pendaratan darurat pesawat yang dipiloti Kapten Abdul Rozaq itu menarik perhatian dunia. Peristiwa bersejarah itu terjadi pukul 16.00 WIB dan menggegerkan warga yang saat itu tengah melepas penat dengan mencari angin segar setelah seharian bekerja.
Berdasarkan catatan Esposin dari keterangan warga yang masih mengingat detik-detik peristiwa itu, pendaratan darurat pesawat Garuda itu diawali suara gemuruh. Konon, saking kerasnya suara gemuruh itu bisa didengar dalam radius 1 km dari sungai.
Warga yang tadinya berada di dalam rumah pun langsung keluar dan mendekat ke bibir sungai. Mereka mendapati pesawat sudah berada di air. Warga pun ramai-ramai berusaha memberikan pertolongan kepada penumpang, pilot, kopilot, dan pramugari.
Warga yang tadinya berada di dalam rumah pun langsung keluar dan mendekat ke bibir sungai. Mereka mendapati pesawat sudah berada di air. Warga pun ramai-ramai berusaha memberikan pertolongan kepada penumpang, pilot, kopilot, dan pramugari.
Warga Serenan, Klaten, yang mengetahui air Sungai Bengawan Solo saat itu hanya setinggi paha orang dewasa berteriak kepada orang-orang di dalam pesawat yang mengalami pendaratan darurat itu agar nyemplung ke sungai dan berjalan ke tepi.
Sebagian warga juga ada yang akhirnya masuk ke sungai untuk membantu mengevakuasi para penumpang dan kru pesawat. Satu per satu penumpang dan kru pesawat dievakuasi secara manual.
Di antara penumpang pesawat dengan rute Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menuju Jogja itu tercatat ada seorang gubernur asal Mataram, kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jateng, dan warga negara asing asal Australia.
Setelah proses evakuasi penumpang dan kru selesai, hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Badan pesawat yang masih berada di air pun nyaris hanyut terbawa arus sungai yang deras. Evakuasi baru dilakukan pada malam harinya hingga beberapa hari berikutnya.
Ada pun penyebab pesawat melakukan pendaratan darurat yakni karena mengalami masalah teknis yaitu mesin mati pada ketinggian 8.000 kaki. Keputusan pilot Kapten Abdul Rozaq terbukti tepat dengan mendaratkan pesawat itu di sungai.
Menurutnya, mesin pesawat mendadak mati setelah menerobos awan badai mengandung petir dan es. Hal itu membuat Abdul Rozaq dan kopilot Haryadi Gunawan panik. Haryadi mengambil mikrofon untuk memberi informasi mengenai situasi pesawat kepada penumpang.
Namun, jalur komunikasi dari kokpit ke kabin ternyata mati. Kapten Abdul Rozaq kemudian meminta seluruh penumpang untuk berdoa karena ia memutuskan untuk mendaratkan pesawat secara darurat di Sungai Bengawan Solo.
"Kita berdoa, detik-detik kematian sudah di depan mata. Kita suruh berdoa dan saya takbir, saya konsentrasi lagi," ujar Abdul Rozaq dalam video itu.
Mendaratkan pesawat di Sungai Bengawan Solo terbukti bukan hal yang mudah. Sang pilot panik saat melihat banyak jembatan di sungai tersebut. Namun ia berusaha sekuat tenaga agar pesawat Garuda itu bisa mendarat dengan selamat.
"Jadi begitu sulitnya saya mendaratkan pesawat itu di antara dua jembatan," katanya.