by Magdalena Naviriana Putri - Espos.id Solopos - Jumat, 9 September 2022 - 21:43 WIB
Esposin, SUKOHARJO — Pandemi Covid-19 dua tahun silam membuat sopir angkutan kota (angkot) di Sukoharjo benar-benar kolaps.
Penumpang minim, hingga akhirnya banyak armada dijual atau dirongsokkan karena rusak. Kondisi kian parah dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun in.
Sopir angkutan kota (angkot) trayek Sukoharjo-Wonogiri hanya tersisa lima hingga enam unit. Sebelumnya jumlah mereka mencapai 60-70 armada.
“Kalau jalan masalahnya tombok terus untuk operasional. Jadi jalan hanya sebagian paling hanya 5-6 [armada] biasanya sampai 40-50 angkot," jelas Pengurus Paguyuban Pengemudi Solo Wonogiri, Untung Slamet Riyadi, saat ditemui di Terminal Sukoharjo, Jumat (9/9/2022).
“Kalau jalan masalahnya tombok terus untuk operasional. Jadi jalan hanya sebagian paling hanya 5-6 [armada] biasanya sampai 40-50 angkot," jelas Pengurus Paguyuban Pengemudi Solo Wonogiri, Untung Slamet Riyadi, saat ditemui di Terminal Sukoharjo, Jumat (9/9/2022).
Baca juga: DPP Organda Minta Pemerintah Tegas dalam Penyesuaian Tarif Angkutan
"Apalagi kalau sebelum pandemi bisa 60-70 angkot,” tambah Untung. Dia mengakui meski bukan kali pertama kenaikan BBM itu terjadi namun pihaknya harus terus menyesuaikan diri.
“Kalau beralih ke profesi lain sebenarnya ingin, tetapi kan kendala kami ke modal lagi,” imbuhnya.
Dia mengatakan pihaknya hanya mampu bertahan untuk terus mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mengingat kenaikan harga BBM tidak diimbangi dengan kenaikan tarif penumpang.
Untung menyebut 70 sopir berpelat nomor AD-B (Sukoharjo) hingga AD-G (Wonogiri) di paguyubannya rata-rata memiliki satu angkutan. Sebelum kenaikan harga BBM dia mengaku pendapatan sehari-hari tidak menutup biaya operasional selama ada pandemi.
Baca juga: Pengamat: Anggaran Subsidi Transportasi Umum ke Daerah Rawan Penyelewengan
“BBM kalau belum naik itu [kebutuhan BBM] sampai Rp100.000 untuk tiga tangkep, jadi tiga kali [pulang pergi] PP. kalau sekarang kemungkinan Rp120.000-Rp130.000. Padahal penghasilannya tidak sampai. Sekarang itu satu PP [pendapatan] paling sekitar Rp30.000-Rp40.000,” ujarnya.
Di sisi lain penumpang dari Gading, Solo sampai Wonogiri kadang tidak ada, penumpang hanya terisi anak sekolah. Kini beberapa rekannya hanya melaju dari Sukoharjo hingga Wonogiri, tak sampai Solo.
“Sekarang anak sekolah mau ditarik berapa kalau BBM naik? Kalau tarif sementara ini anggota kami belum bisa menaikkan tarif, itu kan harus menunggu wewenang pemerintah. Kalau kami menaikan tarif sendiri nanti kan jadi masalah,” keluhnya.