by Redaksi - Espos.id Solopos - Rabu, 28 September 2011 - 07:58 WIB
Sehari sebelumnya, Tuti juga menerima pengaduan di meja kerjanya. Kali itu, pengaduan yang datang bukanlah dari seorang advokat. Melainkan, dari seorang tuna wicara yang tengah terbelit sengketa pinjam meminjam uang koperasi. Tak bisa dibayangkan, bagaimana susahnya mengatasi sengketa konsumen dengan klien yang sama sekali tak bisa bicara kecuali dengan bahasa isyarat itu. “Yahh...namanya pengaduan konsumen. Apapun kondisinya, ya tetap harus kami layani,” kata Tuti saat berbincang dengan Espos di kantor BPSK, pekan lalu.
Cerita advokat dan tuna wicara di atas hanyalah segelintir dari ratusan para konsumen di Soloraya yang mencoba mencari keadilan dengan jalan cepat dan tepat. Mereka menyadari bahwa meja hijau memang tak selamanya menjembatani masalah mereka. Bahkan, persoalan tak jarang terus berlarut hingga menguras harta, tenaga, pikiran, dan juga jiwa. “Kalau di BPSK, sengketa bisa selesai dengan win-win solution. Biayanya murah dan cepat. Syukur-syukur, mereka cukup kami pertemukan, lalu perkara beres,” ujar Wakil Ketua BPSK, Bambang Ary.
Sejak empat bulan lalu berdiri, BPSK Solo memang mengembuskan angin perubahan di Kota Bengawan ini. Lembaga yang lahir atas amanah UU RI No 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu bukan saja menjadi tempat mengadu para konsumen yang merasa dirugikan. Namun, juga menjadi tempat mencari keadilan bagi para produsen agar iklim usaha tetap sehat, terjaga dan dinamis. “Bisa dibayangkan, kalau setiap sengketa berakhir di meja hijau. Tentu akan melelahkan bukan?” tanya Bambang.
Mungkin karena itulah, kehadiran BPSK Solo kini seperti menggenggam harapan. Bukan saja bagi masyarakat kelas menengah ke atas, namun juga dari warga kelas kecil sekalipun. Jangan heran, dalam kurun waktu tiga saja, lembaga yang digawangi sembilan anggota dari berbagai latar belakang profesi itu telah menerima 363 kasus pengaduan. “Sebagian besar kasus bahkan mampu diselesaikan cukup dengan mediasi,” papar Bambang.
Aries Susanto