by Asiska Riviyastuti Jibi Solopos - Espos.id Solopos - Rabu, 29 Juli 2015 - 23:30 WIB
Esposin, SOLO — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatansaat ini tidak sesuai syariah. BPJS Solo mengaku fatwa tersebut tak mengganggu operasional di Solo.
MUI menyatakan penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah atau haram, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.
Dikutip Okezone, Selasa (28/7/2015), faktwa tersebut merupakan ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V ini diselenggarakan di Pondok Pesantren AtTauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada 7-10 Juni 2015.
Dikutip Okezone, Selasa (28/7/2015), faktwa tersebut merupakan ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V ini diselenggarakan di Pondok Pesantren AtTauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada 7-10 Juni 2015.
Pendapat MUI mengenai sistem penyelenggaran BPJS ini ada melalui hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 yang menyebut program BPJS termasuk modus transaksional, khususnya BPJS Kesehatan dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah.
Hal ini merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI (DSN-MUI) dan beberapa literatur secara umum belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Fatwa haram BPJS itu tidak menganggu pelayanan dan penambahan jumlah peserta. Hal ini karena yang dibutuhkan masyarakat adalah pelayanan kesehatan.
Kepala BPJS Kesehatan Solo, Agus Purwono, menyampaikan mengakui pendaftaran peserta saat ini tidak setinggi saat awal beroperasinya asuransi kesehatan milik pemerintah ini. Hal ini karena sudah banyak masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dia mengungkapkan dalam sehari masih ada sekitar 300 orang yang mendaftar menjadi peserta.
“Fatwa [haram] yang diungkapkan tidak menganggu layanan dan pendaftaran peserta BPJS Kesehatan. Yang dipermasalahkan MUI adalah denda bukan pelayanan sehingga layanan tetap berjalan normal,” ungkap Agus kepada Esposin, Rabu (29/7/2015).
Apalagi menurut dia, pelayanan dan denda merupakan hal yang berbeda. Dia mengatakan denda ada ketika peserta terlambat membayar iuran. Namun apabila pembayaran berjalan rutin, tentu tidak akan ada masalah.
Dia menyampaikan hingga saat ini belum ada instruksi dari kantor pusat terkait fatwa haram MUI. Hal ini karena BPJS Kesehatan beroperasi berdasarkan undang-undang (UU) dan peraturan presiden (perpres). Oleh karena itu, perubahan kebijakan berarti harus mengubah peraturannya.
“Denda sebanyak dua persen dari iuran ini tidak untuk mengambil keuntungan tapi untuk menertibkan peserta membayar iuran mengingat BPJS Kesehatan ini sifatnya gotong royong dan saling membantu,” ujarnya.