by Afifa Enggar Wulandari Sri Sumi Handayani - Espos.id Solopos - Kamis, 23 Juni 2022 - 16:14 WIB
Esposin, SOLO -- Gedung bioskop di Kota Solo sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Sejarah mencatat pernah ada Bioskop Purbayan atau Schouwburg Poerbajan dengan gedung yang memiliki angka tahun 1906.
Schouwburg dalam bahasa Belanda berarti teater. Istilah tersebut kerap dipakai dalam literatur untuk menggambarkan sebuah gedung pertunjukan (pergelaran) kesenian, sandiwara. Utamanya saat zaman kolonial.
Terbentuk dari sejarah yang panjang, bioskop menjadi salah satu hiburan yang masih banyak diminati masyarakat hingga kini. Saat ini, setidaknya ada tiga bioskop di Kota Solo, yaitu Solo Square XXI, Solo Paragon XXI, dan Grand XXI di Solo Grand Mall.
Dulunya, bioskop tidak mendompleng di mal seperti sekarang. Penelusuran Esposin dari berbagai sumber tertulis dan wawancara, mengungkap bagaimana kehidupan bioskop Kota Solo tempo dulu.
Dulunya, bioskop tidak mendompleng di mal seperti sekarang. Penelusuran Esposin dari berbagai sumber tertulis dan wawancara, mengungkap bagaimana kehidupan bioskop Kota Solo tempo dulu.
Koordinator dan storyteller Soerakarta Walking Tour, Muhammad Apriyanto, mengatakan Schouwburg Poerbajan berlokasi di Purbayan, Kecamatan Jebres, Solo. Tepatnya di Jl Arifin, sebelah timur Markas Denpom IV Solo, Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan, dan Balai Kota Solo.
Baca Juga: Tahukah Anda? Ini Bioskop Pertama di Solo
Apri menyampaikan Soerakarta Walking Tour menelusuri lokasi bekas gedung pertunjukan tersebut saat menjelajahi jejak Eropa di kawasan Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan, beberapa waktu lalu.
Namun, Apri mengatakan pada 1931 Koran Het Vaderland : staat en letterkundig nieuwsblad edisi 30/11/1931 pernah menuliskan rencana pertunjukan De Overwinning van Soerapati [Kemenangan Soerapati] di Schouwburg Poerbajan.
Baca Juga: Putar Film Sejak 1977, Begini Nasib Gedung Bioskop Rama Theatre Solo
Namun pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda merasa keberatan dengan pertunjukan tersebut. “[Jadi] seharusnya masih [beroperasi pada 1931-an]. Tapi pemerintah Hindia Belanda merasa keberatan,” tuturnya.
Kisah mengenai Schouwburg Bioscoop dan beberapa bioskop lain pada masa kolonial di Kota Solo juga bisa dijumpai dalam tulisan berjudul Bioskop Kota Solo Sedari Doeloe Djadi Perhatian Insani karya Ari Headbang. Tulisan itu dimuat di laman kampungnesia.org pada 8 Januari 2018.
Dalam artikel itu disebutkan, di era sebelum kemerdekaan RI, selain Schouwburg Perbayan juga ada beberapa bioskop lain di Kota Solo. Mereka yakni Alhambra Bioscoop, Sriwedari Bioscoop, Het Centrum Bioscoop, Rex Bioscoop, Star Bioscoop, Grand Bioscoop, De Capitol Bioscoop, dan lain-lain.
“Pada saat itu bioskop awal di Kota Solo cukup dinamis dan hidup. Bioskop di Kota Solo menempati gedung megah dan nyaman,” tulis Ari.
Baca Juga: Eks Solo Theatre Dibongkar, Kabarnya Mau Jadi Gedung Opera Baru
Ari melanjutkan pada 1943 atau saat Indonesia dikuasai Jepang, nama bioskop di Kota Solo diganti menggunakan bahasa Indonesia. Saat itu, bioskop di Jawa diambil alih dan dikuasai Jepang.
Rex Bioscoop Waroeng Pelem menjadi Restu Theatre. Demikian pula Star Bioscoop Widuran menjadi Widuri Theatre. “Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia ll kehidupan bioskop di Kota Solo kembali menggeliat dan muncul bioskop baru,” ungkapnya.
Bioskop baru yang muncul tersebut antara UP Theatre atau Ura Patria yang diambil dari bahasa latin yang berarti Untuk Pahlawan. Kemudian muncul pula Srikaton Theatre yang kemudian menjadi Trisakti Theatre dan Dhady Theatre.
Baca Juga: Kisah Calo Tiket Bioskop Era 1980-An di Solo: Film India Paling Ramai
“Bioskop baru tersebut menjadi bioskop yang legendaris dan ikonik di Kota Solo. Bioskop lain ada Star Theatre, Dewi Theatre [ex Alhambra], Rex Theatre, Sriwedari Theatre, UP Theatre & Sriwedari Theatre punya persekutuan yang kuat.”
Sementara itu, skripsi Muhammad Alvian Fakka dari Prodi Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, menuliskan perjalanan bioskop dimulai dari gambar sorot pada tahun 1910. Layar tancap mulanya ditampilkan tanpa suara dan digelar di luar ruangan.
Seiring berjalannya waktu, layar tancap dilengkapi dengan tenda tidak lagi berada di luar ruang terbuka serta memulai dengan membayar biaya. Seusai munculnya perusahaan listrik NV Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM), bioskop-bioskop dengan gedung permanen di Kota Solo makin bertambah.