Langganan

10 Tahun Irama Nusantara Konsisten Mengarsip Musik Pop Indonesia 1920-2000an - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Dhima Wahyu Sejati  - Espos.id Solopos  -  Rabu, 13 Maret 2024 - 15:40 WIB

ESPOS.ID - Research Associate di Irama Nusantara, Ignatius Aditya Adhiyatmaka ketika di Lokananta belum lama ini. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Esposin, SOLO—Mengarsip menjadi pekerjaan penting untuk menyusun kembali ingatan tentang sejarah perjalanan Indonesia. Termasuk arsip-arsip musik yang berserakan di tangan kolektor perlu “diselamatkan” dan dibuka aksesnya untuk publik.

Tidak banyak orang yang memiliki kesadaran mengarsip apalagi benda-benda lawas seperti piringan hitam sampai kaset pita. Paling kesadaran itu baru sampai mengoleksi untuk kesenangan belaka, alih-alih menyelamatkannya.

Advertisement

Namun, ada sekelompok orang yang tergabung dalam Irama Nusantara memiliki kesadaran untuk menyelamatkan arsip musik pop Indonesia. Irama Nusantara menjadi salah satu yayasan nirlaba yang konsisten melakukan kerja mengarsipkan musik populer Indonesia ke dalam format digital.

Research Associate di Irama Nusantara, Ignatius Aditya Adhiyatmaka, mengatakan sejak berdiri pada 2013, yayasan tersebut sudah mengarsipkan sekitar 8.000 rilisan. Rilisan yang diarsipkan berasal dari dekade 1920-an hingga 2000-an, serta berbagai media massa dan pustaka terkait industri musik populer.

Advertisement

Research Associate di Irama Nusantara, Ignatius Aditya Adhiyatmaka, mengatakan sejak berdiri pada 2013, yayasan tersebut sudah mengarsipkan sekitar 8.000 rilisan. Rilisan yang diarsipkan berasal dari dekade 1920-an hingga 2000-an, serta berbagai media massa dan pustaka terkait industri musik populer.

Adit menjelaskan sebetulnya ide awal untuk mengarsipkan musik-musik lawas sejak 2003. Bahkan proses digitalisasi sudah dimulai pada tahun itu. Maka secara praktis, kerja-kerja mengarsip itu sudah dilakukan sejak dua dekade lalu.

“Nah baru dipublikasikan secara terbuka dan bisa diakses oleh banyak pada 2013. Jadi sampai sekarang kita udah 10 tahun, dan prosesnya masih sama dari awal pendiriannya,” kata dia ketika berbincang dengan Esposin di Lokananta Solo, belum lama ini.

Advertisement

“Kolektor itu motifnya memiliki piringan hitam karena memang ingin keren-kerenan. Jadi hanya mereka yang bisa akses. Nah Irama Nusantara ingin membuka akses itu,” kata dia. Adit menjelaskan mayoritas piringan hitam didapatkan dari tangan para kolektor.

Benar saja, yang mulanya musik populer hanya bisa dinikmati oleh para kolektor, sekarang sudah bisa diakses di laman resmi iramanusantara.org. Melalui laman tersebut publik bisa mengakses secara gratis musik pop Indonesia 1920-an sampai 2000-an. 

Bahkan laman tersebut juga mengarsipkan majalah yang berkaitan dengan musik seperti Aktuil dari 1967 hingga 1980-an. Arsip pustaka tersebut memperkaya koleksi Irama Nusantara lantaran berisi informasi mengenai musisi, lagu, hinga artis pada masa itu.

Advertisement

“Sekarang untuk mengangses tinggal ke websitenya Irama Nusantara sudah bisa mendengarkan musik-musik yang dari piringan hitam yang mungkin sekarang harganya bisa sampai Rp2 juta,” kata dia.

Proses pengerjaan digitalisasi lumayan susah terutama ketika menemui piringan hitam Shellac. Shellac yang sudah digunakan sejak 1898 sampai awal 1960-an itu berbahan dasar semacam resin dari serangga kerria lacca sehingga ringkih dan mudah pecah.

Praktis piringan hitam itu menggunakan teknologi yang lebih tua ketimbang Vinyl yang mulai digunakan sejak 1948 sampai sekarang. Vinyl sendiri berbahan dasar polyvinyl chloride yang lebih tahan lama.

Advertisement

Namun tetap saja, kata Adit, pihaknya mengalami kendala lantaran kondisi piringan hitam ketika ditemukan sudah buruk.

“Piringan hitam yang kita dapatkan itu kondisinya sudah sangat buruk ya, karena iklim kita tropis dan juga kesadaran untuk menyimpan arsip itu sendiri sangat rendah. Jadi kebanyakan vinyl ataupun shellac yang kita temukan kondisinya sudah tidak layak dengar,” kata dia.

Namun, pihaknya mencari cara agar musik itu bisa diselamatkan dan tetap enak didengar. Dia mengatakan proses yang dilakukan bukan hanya merestorasi atau membuat musik itu bisa didengar seperti sedia kala, namun juga membuat kualitasnya setara dengan musik hari ini.

“Jadi ada beberapa track yang kita mastering ulang, misal kalau dari aslinya volumenya terlalu kecil kita coba besarkan, supaya orang-orang yang mengunjungi website kami itu tidak melihat ini barang lama yang tidak bisa dinikmati,” kata dia.

Meski sudah berjalan satu dekade, namun, Adit mengatakan kerja-kerja mengarsip musik pop itu akan terus berjalan. Dia mengatakan tidak ada alasan untuk berhenti lantaran jumlah musik yang perlu diselamatkan masih sangat banyak, terutama di luar daerah Jakarta.

Di Kota Solo misalnya, terdapat Lokananta yang sejak 29 Oktober 1959 aktif menjadi pabrik piringan hitam dan menjadi perusahaan rekaman milik negara di bawah Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan Kementerian BUMN.

Dari kurun awal berdiri hingga sekarang mungkin terdapat ribuan piringan hitam yang berisi musik dari musisi lokal. Bagi Adit penting untuk tidak saja menyelamatkan musik pop yang pernah diproduksi di Jakarta saja, namun juga musik tradisi di daerah.

“Tidak ada selesainya kayaknya ya, soalnya belum lagi kalau kita bicarakan rekaman di daerah-daerah. Karena kita sudah memulai ke situ, bukan hanya rekaman-rekaman di Jakarta aja tapi juga banyak ke luar daerah termasuk Makassar, Surabaya, dan Solo kan punya perusahaan rekaman lokal,” kata dia.

 

Advertisement
Ahmad Mufid Aryono - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif