Esposin, WONOGIRI — Kabupaten Wonogiri ternyata sudah lama menjadi sentra kakao, bahkan menjadi salah satu produsen kakao terbanyak di Jawa Tengah. Kakao mulai marak ditanam petani Wonogiri sejak akhir 1980-an.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah juga mencatat Wonogiri menjadi satu-satunya daerah di Jateng dengan luas area lahan penanaman kakao lebih dari 1.000 hektare (ha) pada 2024. Di peringkat kedua ada Kabupaten Batang yang memiliki area penanaman kakao seluas 327,3 ha.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Dengan luasan itu, Kabupaten Wonogiri menjadi penghasil kakao terbanyak di Provinsi Jawa Tengah yakni mencapai 472 ton/tahun. Jumlah itu setara dengan 31% dari total produksi kakao di provinsi ini.
Data Dinas Pertanian (Dispertan) Wonogiri menyebutkan Kecamatan Ngadirojo, Girimato, dan Jatipurno menjadi wilayah yang paling banyak menyumbang produksi komoditas yang digunakan sebagai bahan baku industri cokelat ini.
Kabupaten Wonogiri menjadi sentra produksi kakao di Jawa Tengah sejak puluhan tahun lalu. Banyak tanaman kakao yang ditanam di pekarangan-pekarangan rumah warga di tiga kecamatan itu. Hanya, selama ini produksi kakao belum maksimal karena petani tidak merawat secara baik.
Namun, kini petani di berbagai daerah dan beberapa pemerintah desa kembali menggarap secara serius tanaman ini. Hal itu karena mereka menilai kakao berpotensi besar untuk dikembangkan di Wonogiri. Terlebih komoditas ini sekarang memiliki harga jual tinggi.
Salah satu pemerintah desa yang fokus dalam pengembangan tanaman ini yaitu Desa Kopen, Kecamatan Jatipurno, Kabupaten Wonogiri. Kepala Desa Kopen, Sarto, mengatakan kakao mulai ramai ditanam petani di Jatipurno sejak akhir 1980-an.
Sempat Mati Suri
Kala itu, Kabupaten Wonogiri menjadi wilayah yang mendapatkan program perkebunan inti rakyat (PIR) pada masa Orde Baru. Saat itu petani diberi bantuan bibit tanaman sekaligus kredit usaha tani untuk pengembangan kakao.Seiring waktu, ternyata pengembangan kakao dianggap gagal karena beberapa hal seperti kurang sosialisasi perawatan tanaman dan harga yang tidak menentu. Sejak itu, tanaman kakao tidak diperhatikan meski juga tidak serta merta ditinggalkan.
Tanaman itu tetap berbuah. Warga pun masih bisa menjual hasil panen kakao meski tidak seberapa. Kakao semakin tidak diperhatikan setelah marak penanaman cengkih. Warga Jatipurno dan sekitarnya yang mayoritas petani banyak yang beralih menanam cengkih.
Cengkih sempat menjadi tanaman primadona. Akan tetapi, pada beberapa tahun lalu, tanaman ini terserang virus sehingga mayoritas tanaman tidak produktif bahkan mati.
”Nah, sekarang ini kami mulai penambahan populasi kakao lagi. Kami melihat kakao berpotensi besar menjadi komoditas unggulan di sini. Perawatannya juga mudah, nilai ekonominya tinggi. Ini berbeda dengan padi yang banyak sekali kendalanya, mulai dari pupuk, gagal panen, dan sebagainya,” kata Sarto saat dihubungi Esposin, Kamis (11/7/2024).
Pemerintah Desa Kopen sudah mengalokasikan dana desa untuk program ketahanan pangan berupa pengembangan kakao. Dengan didampingi peneliti dari Cocoa and Coffee Training Center Surakatnya, Professor Sri Mulato, kelompok tani kakao desa tersebut sekarang sudah mulai menanam kakao secara benar.
”Goal kami nanti Desa Kopen menjadi kampung cokelat di Wonogiri,” ujarnya.
Kepala Dinas Pertanian Wonogiri, Baroto Eko Pujanto, menyampaikan tanaman kakao di Kabupaten Wonogiri kali pertama diintroduksi di Kecamatan Ngadirojo pada 1980-an. Kala itu, Bank Dunia juga turut mendorong penanaman kakao ini di subdaerah aliran Sungai Keduwang.
Impor Kakao
”Kakao ini potensinya besar di Wonogiri. Dengan harga yang lagi tinggi ini, kami akan lebih mudah masuk ke petani-petani untuk mendorong mereka menanam kakao lagi,” ucapnya.Sebelumnya, mengutip Bisnis.com, pengamat pertanian dari Coffee & Cocoa Training Center Surakarta, Profesor Sri Mulato, menjelaskan petani di Jawa Tengah kebanyakan melakukan peremajaan tanaman kakao secara swadaya. Petani melakukan pembibitan dengan sistem sambung pucuk demi menjaga produktivitas.
"Yang saya khawatirkan, ketika produksinya meningkat harganya justru turun," kata Sri pada Mei 2024. Menurut dia, produksi biji kakao di Jawa Tengah masih rendah, yakni sekitar 2.000 ton per tahun.
Padahal kebutuhan kakao di pasar domestik sangat besar. Dalam satu penjelasannya di kanal YouTube Dinkop UMKM Jawa Tengah pada 2023 lalu, Sri Mulato menjelaskan Indonesia masih mengimpor 200.000 ton kakao tiap tahun untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Sementara itu, Wonogiri, Batang, dan Kendal menjadi wilayah sentra produksi kakao di Jawa Tengah. Sri menyebut masih ada wilayah lain yang berpotensi untuk dilakukan ekstensifikasi produksi kakao di Jawa Tengah.
Sri menyebut ada beberapa strategi yang bisa dilakukan Jawa Tengah untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing komoditas kakao. Mulai rehabilitasi atau peremajaan tanaman, hingga ekstensifikasi lahan.
"Sekarang secara sporadis petani melakukan rehabilitasi tanamannya secara swadaya. Idealnya, itu dipasok lembaga yang berwenang," ucapnya.