Esposin, WONOGIRI — Petani di Kabupaten Wonogiri mulai serius menggarap tanaman kakao. Ekstensifikasi atau penambahan populasi tanaman kakao klon unggulan terus dilakukan. Jika konsisten, booming kakao bisa berlanjut dan bisa menjadi produk unggulan Wonogiri seperti halnya kopi.
Seperti diketahui, budi daya kakao booming lagi di Wonogiri yang dipicu tingginya harga komoditas tersebut di pasaran. Saat ini harga jual komoditas ini mencapai seratusan ribu rupiah per kilogram (kg). Padahal dua tahun lalu, harga kakao hanya berkisar Rp20.000/kg.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Salah satu petani kakao di Desa Kopen, Kecamatan Jatipurno, Wonogiri, Meru Ristanto, mengatakan sekarang mulai marak petani yang kembali menanam kakao setelah melihat potensinya besar. Di Jatipurno dan sekitarnya, sebenarnya tanaman ini sudah ada di pekarangan-pekarangan rumah sejak puluhan tahun lalu.
Hanya, tanaman-tanaman itu tidak dirawat sehingga hasil buahnya tidak maksimal. Di Desa Kopen, Kecamatan Jatipurno, ekstensifikasi tanaman kakao mulai serius dilakukan pada 2022. Di kebun milik Meru misalnya, saat ini sudah ada sekitar 100 batang pohon yang ditanam sejak dua tahun lalu.
Sekarang pohon-pohon itu sudah mulai berbuah dan bisa dipanen. Hal serupa dilakukan beberapa petani lain di Jatipurno dan Girimarto. Mulai banyak petani yang memanfaatkan lahan-lahan pekarangan kurang produktif untuk ditanami kakao.
Mereka kembali melirik kakao karena memiliki nilai jual tinggi. “Fokus kami sekarang perbanyak populasi. Di desa sini, alhamdulillah, pemerintah desanya mendukung, sudah masuk program desa,” kata Meru kepada Esposin, Rabu (10/7/2024).
Di luar harganya yang melonjak tinggi, lanjut Meru, Kakao memang cocok dikembangkan di Jatipurno dan sekitarnya. Wilayah ini memiliki ketinggian lebih kurang 400–500 meter di atas permukaan laut yang sesuai untuk tanaman kakao. Tanaman kakao yang ditanam para petani di Jatipurno saat ini merupakan kakao klon MC002 yang dinilai merupakan klon unggulan.
Pendampingan Ahli
Menurutnya, ekstensifikasi kakao di Kabupaten Wonogiri itu juga mendapat pendampingan dari Profesor Sri Mulati yang merupakan peneliti dari Coffee & Cocoa Training Center Surakarta. Beberapa petani dibimbing cara pembibitan, peremajaan, dan termasuk mengolah biji kakao pascapanen.Selain di Kopen, desa lain di Jatipurno yang fokus dalam pengembangan kakao yakni Desa Slogoretno. Pemeritnah Desa Slogoretno menganggarkan Rp160 juta untuk perluasan tanaman kakao dan peremajaan tanaman kakao yang sudah ada.
Meru menyampaikan di Desa Kopen, tanaman kakao yang masih produktif ada sekitar 6.000 pohon. Pemdes setempat mendorong pengembangan kakao berbasis masyarakat. Anggaran dana desa senilai Rp113,7 juta pada 2024 ini disiapkan untuk pengembangan kakao.
Petani lainnya di Kecamatan Girimarto, Tri Yulianto, juga menyampaikan bimbingan teknis dan pelatihan-pelatihan kepada petani sudah dilaksanakan beberapa kali difasilitasi Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Provinsi Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Sembari menanam, Tri juga menyiapkan bibit kakao untuk ekstensifikasi di wilayah Girimarto dan sekitarnya. Tri menerangkan jika konsisten dikembangkan, kakao bisa sangat menguntungkan. Satu pohon kakao rata-rata bisa menghasilkan 3 kg kakao kering per tahun.
Dengan perawatan mudah dan biaya produksi murah, tanaman ini bisa mendatangkan penghasilan tetap bagi petani. “Apalagi tanam ini tidak mengenal musim,” ujarnya.
Dinas Pertanian Wonogiri mencatat pada 2023 produksi kakao kering mencapai 472,9 ton/tahun. Tren produksi kakao di Wonogiri menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020 misalnya, produksi kakao hanya 402,2 ton/tahun.
Daerah Penghasil Kakao Terbanyak
Kepala Dinas Pertanian Wonogiri, Baroto Eko Pujanto, mengatakan Girimarto, Ngadirojo, dan Jatipurno menjadi wilayah penghasil kakao terbanyak di Kabupaten Wonogiri. Meski belum menjadi program unggulan, Dispertan akan mulai mendorong para petani untuk melirik tanaman kakao lagi.”Dengan harga yang melejit ini, kami akan lebih mudah untuk masuk, mendorong mereka untuk menanam kakao lagi. Wonogiri sebenarnya sangat potensi untuk jadi sentra kakao. Kami termasuk yang paling banyak produksinya di Jawa Tengah,” ujarnya.
Pengamat pertanian dari Coffee & Cocoa Training Center Surakarta, Profesor Sri Mulato, menjelaskan petani di Jawa Tengah kebanyakan melakukan peremajaan tanaman kakao secara swadaya. Petani melakukan pembibitan dengan sistem sambung pucuk demi menjaga produktivitas.
"Yang saya khawatirkan, ketika produksinya meningkat, harganya justru turun," kata Sri pada Mei 2024 lalu seperti diberitakan Bisnis.com.
Menurut dia, produksi biji kakao di Jawa Tengah masih rendah, yakni sekitar 2.000 ton per tahun. Padahal kebutuhan kakao di pasar domestik sangat besar. Dalam satu penjelasannya di kanal YouTube Dinkop UMKM Jawa Tengah pada 2023 lalu, Indonesia masih mengimpor 200.000 ton kakao tiap tahun untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Kabupaten Wonogiri, Batang, dan Kendal menjadi wilayah sentra produksi kakao di Jawa Tengah. Sri menyebut masih ada wilayah lain yang berpotensi untuk dilakukan ekstensifikasi produksi kakao di Jawa Tengah.
Menurutnya, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan Jawa Tengah untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing komoditas kakao. Mulai rehabilitasi atau peremajaan tanaman, hingga ekstensifikasi lahan.
"Sekarang secara sporadis petani melakukan rehabilitasi tanamannya secara swadaya. Idealnya, itu dipasok lembaga yang berwenang," ucapnya.