by Nimatul Faizah - Espos.id Solopos - Rabu, 22 Februari 2023 - 13:00 WIB
Esposin, BOYOLALI -- Berjarak sekitar 70 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten, Kelurahan Sambeng bisa dibilang merupakan salah satu daerah terpencil Kabupaten Boyolali. Apalagi lokasinya juga berada di tengah hutan.
Uniknya, kendati terpencil dan jauh dari perkotaan, Sambeng secara administrasi berstatus kelurahan. Lokasi Kelurahan Sambeng ini berada di dalam hutan jati area kecamatan paling utara Boyolali, Juwangi.
Sebagai informasi, di Kabupaten Boyolali ada 261 desa dan enam kelurahan. Dari enam kelurahan itu, lima di antaranya berada di sekitar pusat pemerintahan yaitu Siswodipuran, Banaran, dan Pulisen di Kecamatan Boyolali.
Lalu Kelurahan Mojosongo dan Kelurahan Kemiri di Kecamatan Mojosongo. Hanya kelurahan Sambeng yang berada jauh dari pusat pemerintahan. Esposin menyambangi Kelurahan Sambeng di Juwangi pada Selasa (21/2/2023).
Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dengan sepeda motor via Karanggede dari sekitar Terminal Baru Boyolali di Penggung. Sesampainya di lokasi, ada tugu penanda berdiri bertuliskan Kelurahan Sambeng di kiri jalan dari arah Kemusu.
Saat memasuki jalan gerbang masuk ke Sambeng, jalan yang ditempuh di kelurahan terpencil wilayah Juwangi, Boyolali, itu luar biasa ekstrem. Jalan rabat beton dua sisi kanan-kiri sebagian rusak berlubang, beberapa terisi air berwarna cokelat.
Kondisinya pun becek dan licin sehingga Esposin harus berkali-kali berhenti dan mengendarai sepeda motor dengan pelan. Walaupun telah berhati-hati, ban belakang masih susah dikendalikan sehingga beberapa kali hampir terpeleset.
Kemudian, setelah menyusuri hutan jati dan jalan rabat beton yang cukup licin dan menantang adrenalin, selama sekitar lima menit sampai lah Esposin di kantor Kelurahan Sambeng. Jalan di depan kantor tersebut pun tak kalah menantang, berlubang dan tergenang air.
Anton mengatakan sebelumnya terdapat pembangunan jalan-jalan, tapi berdasarkan kesepakatan warga diutamakan jalan-jalan di lingkungan RT. Lalu pada 2023 ini tidak ada pembangunan jalan di lingkungan RT akan tetapi difokuskan di jalan poros mulai pintu gerbang Sambeng hingga daerah RT 001.
“Anggarannya dari APBD [Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah] Boyolali 2023, tapi dari tiga sumber, ada dari DPUPR [Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang] Rp190 juta, dari kecamatan Rp100 juta, dan dari kelurahan Rp350 juta,” ujarnya saat berbincang dengan Esposin di kantornya, Selasa.
Anton memprediksi akses pertanian warga seperti penjualan jagung dan pisang akan semakin banyak dan membaik. Beberapa usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) warga Sambeng seperti pembuatan tas dan keripik pisang.
Selama ini, kondisi jalan poros Sambeng sangat licin saat dan setelah hujan. Membuat beberapa warga pernah tergelincir saat berkendara sepeda motor, terutama anak-anak sekolah. Anton sendiri mengaku pernah tergelincir tiga kali di jalan poros tersebut, akan tetapi tak ada yang melihatnya.
“Jadi ada warga yang swadaya untuk nguruk tanah, pakai tanah padas warna kuning itu lo. Saya sendiri tiga kali jatuh itu, sekali jatuh pakai Megapro, dua kali pakai NMax itu [sepeda motor dinas],” ujarnya.
Untuk penerangan, meski lokasinya terpencil di tengah hutan dan jauh dari perkotaan, warga di perkampungan Kelurahan Sambeng, Juwangi, Boyolali, telah terjangkau listrik PLN. Akan tetapi di jalur masuk Sambeng hingga sepanjang 1.600 meter belum ada penerangan jalan umum sehingga gelap saat malam.
Anton tak menampik kelurahan yang ia pimpin termasuk terpencil di dalam hutan jati Boyolali karena menurutnya kondisi di lapangan seperti itu. Dari total 554.442 hektare, sedangkan hutan jati yang merupakan perkebunan negara seluas 466,7 hektare.
“Di sini ada 837 KK [keluarga] dengan total 2.535 jiwa. Mayoritas warga di sini sebagai petani jagung dan pisang, pendidikan sebagian besar lulus SD, tapi juga ada yang sarjana beberapa, kalau tidak salah 12 orang,” jelasnya.
Ia mengatakan ada 16 RT dan dua RW di Sambeng yang merupakan kelurahan terpencil di tengah hutan jati Juwangi, Boyolali. Selain itu, ada tujuh dukuh di Sambeng yaitu Klumpit, Kedungdawung, Blimbing, Joho, Kendal, Sambeng, dan Mondokan.
Berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan, Anton mengungkapkan saat ini sudah ada jembatan penghubung Sambeng dengan Dusun Ngawen, Desa Padas, Kecamatan Kedungjati, Grobogan. Jembatan itu baru selesai dibangun dan masih dalam masa pemeliharaan sampai Juni 2023.
“Dengan adanya jembatan tersebut saya harap akses ekonomi warga semakin mudah, jadi bisa jual pisang sampai Salatiga, enggak hanya di Pasar Juwangi saja. Akses berobat warga juga semakin mudah,” kata dia.
Berada terpencil di tengah hutan, Kelurahan Sambeng memiliki potensi wisata yaitu Embung Sambeng yang digunakan untuk resapan air baku dan reservasi air. Embung juga digunakan warga untuk memancing ikan baik.
Anton menyebut sempat ada sekitar 30.000 bibit benih ikan nila bantuan dari Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Boyolali yang disebar di embung tersebut. Ia menyebut warga luar Sambeng tidak dikenai bayaran atau retribusi untuk memancing di embung karena tujuannya mendatangkan orang ke Sambeng.
Akses air warga juga sudah terpenuhi dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan sumur. Akan tetapi, di daerah barat kelurahan terpencil di Juwangi itu ketika musim kemarau panjang masih kekurangan air sehingga mendapat bantuan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali.
Tantangan lain yang dihadapi warga Sambeng yang tinggal di tengah hutan adalah kesulitan akses Internet. Anton mengungkapkan hanya ada satu provider, itu pun hanya di tempat-tempat tertentu. Sebagian besar warga menggunakan wifi ketika ingin berkomunikasi.
Ia mengatakan sudah melaporkan hal tersebut ke dinas terkait agar dibangunkan tower komunikasi, sempat juga disurvei akan tetapi karena kondisi Kelurahan Sambeng seperti di tengah-tengah mangkuk tak memungkinkan dibangun tower.
Warga Sambeng, Febri Sulistyowati, 25, membenarkan akses Internet hanya bisa dijangkau satu provider dan hanya di tempat-tempat tertentu. “Kalau saya biasanya kalau mau internetan ya beli voucer di tempat tetangga, sehari harganya Rp3.000. Kadang juga pakai nomor saya sendiri, tapi ya harus di tempat tertentu,” ujar dia.
Febri juga berharap akses jalan di wilayahnya diperbaiki. Selama 25 tahun tinggal di Sambeng, Febri mengungkapkan ia pernah mengalami jalan poros yang masih tanah, aspal, dan rabat beton di sisi kanan-kiri.
“Yang sekarang itu selain rusak juga licin, jadi banyak anak-anak sekolah itu kepeleset di sana. Apalagi itu kan jalur utama ke Sambeng, gerbang utama juga jadi menurut saya sangat urgen dibangun” jelas ibu muda tersebut.