by Dhima Wahyu Sejati - Espos.id Solopos - Jumat, 5 Januari 2024 - 14:48 WIB
Esposin, SOLO—Pura Mangkunegaran memiliki kekayaan kesenian tari yang tidak sedikit. Dari generasi ke generasi, sudah lahir sejumlah seni tari gaya Mangkunegaran. Dari situ pula Mangkunegaran melahirkan maestro tari, salah satunya adalah Suyati Tarwo Sumosutargio
Akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Sri Rochana Widyastutieningrum dalam bukunya Suyati Tarwo Sumosutargio Maestro Tari Gaya Mangkunegaran (2018), menulis Suyati kecil lahir pada Sabtu, 27 Mei 1933 di Kampung Gondowijayan, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, Solo.
Suyati lahir dari pasangan Kamiyun atau Kartodiwiryo yang menikah dengan Sumarni. Dia lahir sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara yang terdiri atas 2 laki-laki, dan 4 perempuan.
Keenam anak pasangan Kartodiwiryo dan Sumarni antara lain Rukinem, Parjimin, Pariyem, Sukamti, Suparlan, dan Suyati. Suyati merupakan anak bungsu dalam keluarga Kartodiwiryo
Keenam anak pasangan Kartodiwiryo dan Sumarni antara lain Rukinem, Parjimin, Pariyem, Sukamti, Suparlan, dan Suyati. Suyati merupakan anak bungsu dalam keluarga Kartodiwiryo
Sang ayah, Kartodiwiryo berasal dari Kampung Penularan yang berada di belakang Rumah Sakit Kadipolo, Kecamatan Serengan. Ayah Suyati masih keturunan priyayi, karena anak dari kalangan pamong praja. Kehidupan sosialnya lebih mapan dari rakyat biasa atau kalangan pekerja dan petani.
“Saudara sekandungnya ada yang menjadi abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga mendudukkan strata kehidupan ekonomi dan sosial yang lebih mapan dan terhormat,” Sri Rochana, dikutip Jumat (5/1/2024).
Menginjak usia remaja, tepatnya ketika Suyati berusia 18 tahun, dia memutuskan untuk menikah dengan Tarwo. Belakangan nama suaminya itu juga melekat dalam dirinya, yang kemudian dipanggil dengan Bu Tarwo.
Bu Tarwo yang kini sudah beranjak usia 91 tahun itu merupakan sosok penting di dunia tari tradisi. Dia mewarisi dan menjaga agar tari gaya Mangkunegaran lestari hingga sekarang.
Sebutan sebagai maestro dan sosok penting penjaga tari tradisi Mangkunegaran tidak berlebihan, apalagi Eyang Tarwo sudah belajar tari sejak usianya masih 10 tahun di Pura Mangkunegaran. Artinya itu sudah 80 tahun berlalu. Kira-kira sekitar 1943 dirinya sudah menari, yang kala itu KGPAA Mangkunagoro VII masih bertakhta.
Hingga kini, ketika KGPAA Mangkunagoro X naik takhta dirinya tetap setia mengawal dan mengajarkan kesenian tari tradisi gaya Mangkunegaran. Dia melewati empat generasi.
Sebelum belajar di Mangkunegaran, sebetulnya dia sudah belajar tari dari Ki Demang Panco Sewoko yang merupakan seorang penari sekaligus abdi dalem Pura Mangkunegaran.
"Itu dulu zaman Kanjeng Gusti Mangkunagoro VII itu sering tegar di kampung-kampung, Saat itu tetangga saya ada yang jadi abdi dalem, terus saya disuruh latihan ke Mangkunegaran. Di sini saya belajar tari macam-macam,” kata dia kepada Esposin dengan suaranya yang lirih, Rabu (3/1/2024).
Kecintaannya pada tari tradisi membuat Eyang Tarwo mau secara konsisten dan disiplin mempelajari sejumlah tari gaya Mangkunegaran. Dia tergerak karena merasa terpanggil. Tidak ada niat lain selain mengabdikan dirinya di bidang seni tari tradisi.
“Ndak melik uang, ndak miliha apa [bukan karena uang, bukan karena apapun], pokoknya menari itu aja,” kata dia, yang kemudian mendapat penghargaan dari Pura Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Raden Nganten Tumenggung (K.R.Ng.T.).
Pengabdian seumur hidupnya terhadap tari gaya Mangkunegaran membuahkan berbagai penghargaan tersemat pada dirinya. Salah satunya pada 2004, Bu Tarwo memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah, sebagai seniman yang ikut berkiprah dalam dunia seni.
Lalu pada Juni 2009, Bu Taro kembali diganjar penghargaan sebagai Maestro dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, di Jakarta. Dia secara khusus mendapat Penghargaan sebagai Maestro Tari Tradisional Gaya Mangkunegaran.
Kini maestro itu masih mengabdikan hidupnya terhadap tari terutama di Mangkunegaran. Setiap Rabu, Bu Tarwo menyempatkan diri untuk sekadar melihat dan mengamati para penari berlatih di Pendapa Ageng Mangkunegaran.