by Ivan Andimuhtarom Jibi Solopos - Espos.id Solopos - Minggu, 22 November 2015 - 10:45 WIB
Esposin, KARANGANYAR - Pabrik Gula (PG) Colomadu, Karanganyar, kembali bergairah pada Sabtu (21/11/2015) sore. Acara bertajuk Sardono’s Perspective Fabriek Fikr kembali menyuguhkan penampilan teatrikal belasan pelaku seni Papua.
Namun, gemuruh tepuk tangan lebih keras diberikan para penonton atas pembacaan puisi oleh pujangga Tanah Air, Sapardi Djoko Damono.
Sapardi membacakan salah satu puisi andalannya, Mantra Orang Jawa. Puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia yang tersaji dalam puisi tersebut benar-benar menyihir para penonton.
Sapardi membacakan salah satu puisi andalannya, Mantra Orang Jawa. Puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia yang tersaji dalam puisi tersebut benar-benar menyihir para penonton.
Mereka diam seribu bahasa meresapi kata demi kata yang terucap dari lelaki berusia 75 tahun tersebut.
Sebuah pulpen terselip pada saku kemejanya. Ia menggunkana topi dan sepatu cokelat.
Sapardi tak sendiri, lirik-lirik yang ia baca berharmonisasi dengan nada cello, suara seriosa dan teatrikalisasi sepasang laki-laki perempuan di panggung bagian belakang.
Di tengah-tengah pembacaan puisi, sang penggagas event, Sadono, naik ke panggung. Ia berganti pakaian, lalu bergerak gemulai mengikuti irama cello.
Beberapa kali Sadono berteriak. Teriakan itu disambut teriakan-teriakan para pelaku seni Papua yang ada tak jauh dari tempat itu. Di akhir pertunjukan, Sadono kembali berteriak, diikuti seniman Papua dan tepuk tangan penonton pun pecah.
Dari panggung, Sadono mengatakan kali pertama masuk dalam bangunan gedung, banyak orang [pelaku seni Papua] yang menakuti para penonton. Namun, ketakutan itu sebenarnya adalah interpretasi para penonton sendiri yang terjadi kemungkinan karena terlalu banyak melihat televisi, khususnya film horror.
Padahal, manusia sebenarnya diciptakan dengan bekal imajinasi di kepalanya. Sayangnya, sering kali justru manusia dijajah oleh imajinasi. Seniman mencipta imajinasi yang baru, ia tak boleh dijajah. Dengan mengkritik diri sendiri, lalu mempertanyakan hakikat.
“Anda duduk seperti sekarang dalam cahaya temaram [hari mulai gelap]. Dengarkan suara dari Papua, ada imajinasi dalam pusi yang diungkap Sapardi. Bekerjalah dengan imajinasi, introspeksidiri dan melihat apa yang bisa kita pelajari,” kata dia diikuti tepuk tangan penonton.
Sapardi, saat ditemui wartawan seusai acara mengatakan suasana saat itu sangat cocok dengan puisi Mantra Orang Jawa. Suasana itu pula yang membuat semua pertunjukan berjalan dengan lancar.
“[khusus untuk pembacaan puisi] Kami enggak pernah latihan, lalu main begitu saja. Hasilnya juga pas,” ujar alumnus SMAN 2 Solo itu ramah.
Ia berpendapat sebaiknya bangunan itu diperbaiki kemudian bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, termasuk pertunjukan seni. Fungsi sosial PG Colomadu lebih terasa jika menjadi kawasan sosial, bukan dimodernisasi menjadi mal seperti informasi yang berkembang akhir-akhir ini.
“Kalau jadi mal untuk dimodernisasi ya enggak apa-apa, tapi mbok ya diperbaiki lalu dimanfaatkan untuk apa saja. Event seperti ini terbukti bisa diselenggarakan di sini,” kata dia.
Sementara itu, salah seorang penonton, Risma Maharani, 19, mengatakan tujuan awal dirinya datang adalah hunting foto kontemporer. Namun, setelah mengikuti seluruh rangkaian atraksi yang disajikan, ia menilai event tersebut bagus, kreatif dan unik.
“Ini kan mengeksplorasi pabrik yang sudah rusak. Tadi saya sempat berfoto dengan Pak Sapardi,” ujar mahasiswa Sastra Mandarin Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu.
Risma datang bersama teman kuliahnya, Jachinda Nur Affini, 20. Jachinda juga mendapat banyak inspirasi dan pengalaman dari pertunjukan hari itu.
“Kebetulan saya ikut teater di kampus. Saya suka dengan konsep ketubuhan, teatrikal, musik, lighting yang disajikan,” ujar gadis asal Delanggu, Klaten tersebut.