Langganan

Kisah Relawan PMI Sragen: Merayu ODGJ hingga Mengalami Peristiwa Mistis - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Tri Rahayu  - Espos.id Solopos  -  Jumat, 20 September 2024 - 16:47 WIB

ESPOS.ID - Relawan PMI Sragen, Reza (paling depan kiri), bersama rekan-rekan sesama relawan PMI membawa kantung mayan berisi jenazah korban kecelakaan KA di wilayah Ngrampal, Sragen, belum lama ini. (Istimewa/PMI Sragen)

Esposin, SRAGEN--Palang Merah Indonesia (PMI) lahir diinisiasi Moh. Hatta pada 17 September 1945. Usia PMI sudah 79 tahun dan telah melahirkan ribuan relawan kemanusiaan, khususnya di Bumi Sukowati. Salah satunya Nikko Armando Reza Primajaya, 38, yang bergabung menjadi Tim Pemburu Mayat PMI Sragen sejak 2017.

Tim tersebut berdiri karena hampir setiap hari berkutat dalam penyelamatan nyawa manusia. Begitu ada panggilan kedaruratan, pria kelahiran Sragen 17 Juli 1986 itu langsung meluncur dengan mobil ambulansnya yang sudah berumur. Reza, sapaannya, bersama rekan-rekannya sigap mendatangi lokasi kejadian untuk misi penyelamatan dan evakuasi. Panggilan kedaruratan itu bisa berupa kasus kecelakaan lalu lintas (lakalantas) maupun bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.

Advertisement

Reza resmi bergabung sebagai relawan PMI sejak Februari 2017 dan sebelumnya ikut pendidikan dan pelatihan pada 2016. Satu angkatannya ada 24 orang kala itu tetapi yang aktif hingga kini tinggal dua orang. Total relawan PMI yang terdaftar hingga 2024 mencapai 200 orang tetapi yang aktif sekitar 70 orang, salah satunya Reza.

PMI di Sragen lahir awal 1980. Laki-laki lajang asal Dukuh Dedekan RT 001, Desa Pelemgadung, Karangmalang, Sragen, itu tertarik bergabung menjadi relawan PMI seperti panggilan jiwa. Ia sempat kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Advertisement

PMI di Sragen lahir awal 1980. Laki-laki lajang asal Dukuh Dedekan RT 001, Desa Pelemgadung, Karangmalang, Sragen, itu tertarik bergabung menjadi relawan PMI seperti panggilan jiwa. Ia sempat kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Selama berstatus mahasiswa, Reza sudah aktif sebagai relawan kemanusiaan di wilayah Yogyakarta, terutama pada saat gempa bumi 2006 dan erupsi Gunung Merapi 2010. Ia bergabung dengan relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jogja dan ditempatkan di areal Gendol, kemudian ke Glagaharjo, Kabupaten Sleman, selama enam bulan.

Pada 2012, Reza memutuskan kembali ke Sragen. Ia mencoba membuka usaha sendiri hingga akhirnya muncul pengumuman Diklat Relawan PMI Sragen pada 2016. Jiwa relawannya tergugah. Putra bakul tempe di Pasar Bunder Sragen itu memutuskan ikut Diklat Relawan PMI dan akhirnya bisa bergabung dengan PMI Sragen mulai 2017.

Advertisement

“Masuk menjadi calon pegawai PSC 119 Sukowati itu ternyata seleksinya cukup ketat, ada tes juga. Kebetulan saya sudah memilik pengalaman di Jogja dan di PMI. Akhirnya, saya diterima sebagai pegawai PSC 119 Sukowati dan resmi menerima gaji sesuai upah minimum kabupaten (UMK) mulai 2019,” ujar Reza kepada Solopos, Jumat (20/9/2024).

Status kepegawaian Reza di PSC 119 Sukowati Sragen sebagai tenaga harian lepas. Tugas di PSC dibagi tiga sif, selebihnya Reza bergabung menadi relawan di PMI Sragen. Selama tujuh tahun menjadi Tim Pemburu Mayat, Reza cukup banyak makan garam.

Sebagai penyelamat sesama insan, seperti teman-temannya, Reza tidak berpikir dengan imbalan. Suatu ketika, Reza pernah dicari-cari orang hanya ingin berterima kasih karena keluarganya pernah diselamatkan Reza dan teman-temannya. “Orang itu asal Gondang tidak ketemu saya tetapi datang ke rumah dan ketemu orang rumah,” ujarnya.

Advertisement

Ia masih ingat pengalaman menyelamatkan korban lakalantas bus terguling di Jatisumo, Sambungmacan. Dia menyebut kala itu ada 16 orang korban, dan salah satunya meninggal dunia. Dari belasan korban selamat, Reza ingat tinggal satu korban di dalam bus dalam kondisi trauma berat dan tubuhnya gemuk. Di tengah antara dua kursi bus yang terguling itu, ujar dia, si korban perempuan ini menangis histeris.

“Mbak-mbak ini awalnya tidak mau dievakuasi karena panik. Jalan evakuasi satu-satunya hanya lewat jendela bus. Setelah merayu selama satu jam, akhirnya mbak-mbak itu berhasil dievakuasi lewat jendela bus,” ujar Reza yang dibenarkan rekan kerjanya, Munif.

Ia juga pernah mengevakuasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pendekatan selama empat jam, kata dia, baru berhasil mengevakuasi orang gila itu. “Jadi komunikasi dengan orang gila itu caranya saya harus ikut gila dulu, jadi menyesuaikan. Wong edan ya kudu ngedan. Kalau kasus bencana yang cukup besar, ya kasus terakhir di Sambirejo, Sragen, longsor dengan tiga orang korban meninggal dunia itu. Prinsipnya kami itu semua kita sama dan semua kita saudara, serta tidak ada perbedaan,” uarnya.

Advertisement

Di sisi lain, Reza juga punya pengalaman horor dengan ambulans yang sering digunakannya untuk evakuasi korban meninggal dunia. Dia mengungkapkan kalau lampu sein dan rotator hidup sendiri itu sudah biasa saat kondisi mesin mati. Dia menyampaikan mobil itu cukup berumur karena pengadaan 2015 lalu.

“Bahkan ada teman yang melihat ada sosok penampakan ibu dan anak di bagian belakang mobil ambulans itu. Kemudian di dalam seperti ada bayangan orang, padahal tidak ada siapa-siapa. Kemudian terdengar ada perempuan menangis, dan seterusnya,” kata dia yang pernah ikut ditugaskan saat banjir di Demak dan Grobogan beberapa waktu lalu.


Advertisement
Astrid Prihatini WD - I am a journalist who loves traveling, healthy lifestyle and doing yoga.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif