by Nimatul Faizah - Espos.id Solopos - Jumat, 4 Agustus 2023 - 20:56 WIB
Esposin, SOLO -- Pria asal Sanggrahan, Desa Trayu, Banyudono, Boyolali, S alias SU, yang ditangkap tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri pada Jumat (28/7/2023) ternyata pemimpin jaringan pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung, pada Desember 2022 lalu.
Hal itu diungkapkan Juru Bicara Densus 88 Antiteror Mabes Polri Kombes Aswin Siregar saat menggelar konferensi pers di Mapolresta Solo, Jumat (4/8/2023) siang. Seperti diberitakan, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap lima terduga teroris di sejumlah lokasi berbeda pada awal Agustus.
Kelima tersangka itu merupakan kelompok jaringan teroris yang melakukan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, pada Desember 2022. Kelima tersangka tindak pidana terorisme bom bunuh diri itu masing-masing S, AS alias AM, TN, PS, AG, dan R. Mereka ditangkap tim Densus 88 di Semarang, Boyolali, dan Sukoharjo.
Kombes Aswin Siregar mengatakan kelompok yang terkait bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung itu dipimpin S atau SU yang menjadi amir di Soloraya. Tersangka S merupakan anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008-2014.
Kombes Aswin Siregar mengatakan kelompok yang terkait bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung itu dipimpin S atau SU yang menjadi amir di Soloraya. Tersangka S merupakan anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008-2014.
S juga diketahui pendukung ISIS sejak 2014. “Kami masih akan mendalami keterangan dari para tersangka serta melakukan pemeriksaan laboratorium forensik terhadap barang bukti yang disita,” kata dia.
Sementara itu, Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme Densus 88 Antiteror Mabes Polri, Islah Bahrawi, menyebut jaringan teroris yang dipimpin pria asal Dusun Sanggrahan, Desa Trayu, Kecamatan Banyudono, Boyolali, S alias SU, itu memiliki ideologi tertentu.
Menurutnya, kelompok teroris tersebut memiliki cita-cita politik ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbasis agama. Agamanya pun harus sesuai keyakinan kelompok teroris tersebut.
Bahkan, orang yang walaupun seagama, akan tetapi belum sama keimanannya, akan dengan gampang mereka bunuh. “Nah, ideologi pengafiran dan sebagainya ini banyak dianut oleh mereka. Mereka ingin menjadikan negara Islam, mereka mengharamkan Pancasila, mengharamkan demokrasi,” kata dia pada konferensi pers.
Lelaki yang juga menjadi pengamat terorisme tersebut mengatakan kejadian-kejadian berulang dari kelompok yang memiliki tujuan untuk menguasai Indonesia dengan mengatasnamakan agama.
“Densus 88 tidak menangkap mereka karena mereka beragama Islam. Mereka adalah orang yang melakukan aksi kekerasan dengan atas nama Islam. Tujuannya apa? Supaya kejahatannya terlihat terhormat,” jelas dia.
Bahkan, pendanaan aktivitas mereka juga menggunakan kotak sumbangan mengatasnamakan agama dan menggunakan dalil-dalil agama. Hal tersebut, ujar Islah, agar kejahatan mereka bisa dimaklumi mayoritas pemeluk agama di Indonesia, yaitu Islam.
Islah mengungkapkan kelompok-kelompok tersebut biasanya menunggangi agama yang dianut populasi terbesar di suatu negara. Ia mencontohkan teroris di Indonesia menunggangi dan mengatasnamakan Islam.
Ia kembali menegaskan Densus menangkap mereka bukan karena agama, tapi tindakanannya yang mengatasnamakan agama. Islah mengatakan justru kelompok mereka yang menjelekkan citra Islam sehingga seolah tidak punya daya tarik, kedamaian, cinta, dan kemanusiaan.
Hal tersebut juga sama seperti yang terjadi di Eropa, India, dan sebagainya. Teroris di Eropa mengatasnamakan agama setempat dengan mayoritas pemeluk terbesar. Teroris di India mengatasnamakan agama terbesar di sana seperti Hindu.
"Di Myanmar mengatasnamakan Buddha. Ini adalah postulat yang sama dan dilakukan kelompok-kelompok ekstrem dan teror di berbagai negara,” kata dia.