by Afifa Enggar Wulandari - Espos.id Solopos - Selasa, 28 Juni 2022 - 06:00 WIB
Esposin, SOLO -- Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Solo, memiliki jumlah penduduk paling sedikit dibandingkan 53 kelurahan lainnya di Kota Solo.
Berdasarkan Buku Surakarta Dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) Solo, pada 2020 sebanyak 2.124 jiwa. Angka itu turun dibandingkan 2019 yang mencapai 2.130 jiwa.
Sebagai wiliayah kelurahan dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kota Bengawan, Kelurahan Laweyan memiliki sejumlah keistimewaan. Dari sisi sejarahnya sendiri, Laweyan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu
Berikut beberapa keistimewaan Kelurahan Laweyan dibandingkan kelurahan lain di Solo:
Berikut beberapa keistimewaan Kelurahan Laweyan dibandingkan kelurahan lain di Solo:
Baca Juga: Ini Kelurahan Dengan Jumlah Penduduk Paling Sedikit Di Solo, Wilayahmu?
Dikutip dari laman kampoengbatiklaweyan.org, Kamis (3/2/2022), masa kejayaan industri batik di Laweyan terjadi pada 1900 hingga 1960-an.
Lurah Laweyan, Agus Wahyu Purnomo, menyebut sekitar 70 persen warga wilayah itu bekerja di industri batik. “Ya bisa dibilang 70 persen ya yang masih bekerja di sektor batik. Beberapa sampai mendatangkan pekerja dari kelurahan dan kecamatan sekitar,” jelasnya saat ditemui Esposin di kantornya, Senin (27/6/2022).
Baca Juga: Rumah Tertua Jateng di Kampung Batik Laweyan Solo Tinggalan Majapahit
Sampai sekarang pun, rumah-rumah bergaya kolonial atau tradisional di Kelurahan Laweyan, Solo, masih terjaga kelestariannya. Laman ppid.surakarta.go.id menyebutkan rumah di Laweyan dikelilingi tembok tinggi dan mempunyai regol atau pintu masuk ke halaman rumah yang besar dan kokoh.
“Rumahnya memang tinggi-tinggi, kami menyebutnya pager. Sehingga pagernya masih banyak yang utuh, masih bangunan lama,” jelasnya.
Memang bila dilihat dari luar, pagar rumah-rumah itu tak tampak mewah. Yang ada hanya kesan lawas. Namun bila gerbang dibuka, setelah masuk regol akan dijumpai bangunan rumah dengan arsitektur dan ornamen yang megah.
Baca Juga: Rumah Tertua di Jawa Tengah Ada di Kampung Batik Laweyan Solo
“Ya banyak gang sempit. Karena kan pada bangun [pagar] tinggi ya. Dulu saya pernah melayat, awal tugas di sini. Ya bingung, kalau biasa orang sebut gang tikus ya,” imbuh Agus sambil tertawa.
Ia juga mengatakan gang sempit tersebut hanya cukup dilewati orang atau sepeda motor saja. "Ya cuma muat orang jalan kaki, motor saja paling papasan juga agak susah,” jelasnya.’
Lokasinya di Kampung Sayangan Wetan, Kelurahan Laweyan. Ketua Forum Pengembang Kampung Batik Laweyan, Solo, Alpha Fabela Priyatmono, saat diwawancarai Esposin pada Maret lalu menyebut rumah tertua itu dibangun pada 1740 Masehi.
Baca Juga: Mitos Mbok Mase Juragan Batik Laweyan Solo, Jelmaan Nyi Blorong?
Artinya rumah tersebut sudah berusia 282 tahun, lebih tua dari usia Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dibangun sekitar 1743 dan ditempati mulai 1745.
Dalam jurnal Universitas Brawijaya berjudul Pelestarian Kawasan Kampung Batik Laweyan Kota Surakarta, Laweyan memiliki ciri yang khas jika dilihat dari sosial budaya masyarakatnya.
Alpha Fabela Priyatmono dalam Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta tahun 2004, menyebut di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial.
Baca Juga:Berwisata Sepeda di Kampung Batik Laweyan Solo, Begini Caranya
Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan priyayi (bangsawan atau pejabat).
Selain itu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah Mbok Mase.