Langganan

PAGODA MOJOSONGO SOLO : Sebagai Tanda Marga Jap Pertama di Solo - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Indah Septiyaning W Jibi Solopos  - Espos.id Solopos  -  Selasa, 9 Juli 2013 - 14:57 WIB

ESPOS.ID - Bangunan mirip pagoda di Mojosongo, Jebres, Solo (Dok/Solopos/Agoes Rudianto)

Bangunan mirip pagoda di Mojosongo, Jebres, Solo (Dok/Solopos/Agoes Rudianto)

Esposin, SOLO -- Munculnya bangunan mirip Pagoda di kompleks Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Mojosongo, Jebres ternyata memunculkan bukti baru. Seorang warga Solo, Oei Hong Hie atau Widjaya Saputra, 66, menyodorkan sebuah bukti foto-foto terkait keberadaan pagoda itu.

Advertisement

Kepada Esposin, Selasa (9/7/2013), Widjaya menunjukkan foto tentang aktivitas sadranan keluarganya di pagoda Mojosongo tersebut. Tak hanya itu, ada beberapa foto yang menunjukkan satu keluarga mendayung perahu di tegalan yang tak jauh dari pagoda.

Ya, Widjaya merupakan cucu terakhir dari pembuat bangunan pagoda yang bernama Jap Tong Ik. Widjaya ketika dijumpai di kediamannya, Selasa (8/7/2013), menceritakan sejarah pagoda di Mojosongo itu.

Baginya dan keluarga besar, pagoda memiliki nilai sejarah tinggi. Pagoda dibangun oleh kakeknya bernama Jap Tong Ik lama sebelum dirinya lahir tahun 1947. Sang kakek membangun pagoda untuk menghormati ayah kandungnya, bernama Jap Bing King. Namun dia tidak bisa memastikan kapan bangunan pagoda dibangun.

Advertisement

“Yang jelas sejak saya belum lahir itu sudah ada. Dan bisa dibayangkan saja, itu dibangun oleh kakek saya. Saya saja sekarang umurnya sudah 66,” katanya.

Dari cerita orangtuanya, Jap Bing King adalah tokoh China bermarga Jap yang datang kali pertama di Kota Bengawan. Jap Bing King kemudian dimakamkan di permakaman keluarga yang berada di Gunung Kendil atau kini lingkungan kampus II ISI Mojosongo.

Kemudian, kakeknya Jap Tong Ik membangunkan sebuah pagoda di lokasi makam tersebut. Namun bangunan pagoda tidak digunakan sebagai tempat ibadah, melainkan hanya sebagai tanda atau simbol makam leluhur. Selain itu pula digunakan untuk tempat berteduh. Namun keberadaan pagoda terabaikan sejak makam leluhur di sana dikremasi sekitar 1976.

Advertisement

“Dulu kami selalu melakukan sadranan ke sana. Tapi setelah dikremasi dan dilarung ke sungai, pagoda itu terabaikan. Kami tidak lagi melakukan sadranan,” tuturnya.

Advertisement
Ahmad Mufid Aryono - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif