by Birgita Armasda - Espos.id Solopos - Senin, 21 Agustus 2023 - 14:20 WIB
Esposin, SRAGEN -- Kabupaten Sragen memiliki banyak lokasi yang memiliki sejarah di masa lalu. Beberapa di antaranya berupa makam para tokoh dan para wali.
Di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, terdapat makam tokoh penyebar agama Islam bernama Syekh Muhammad Nasher atau dikenal juga dengan sebutan Kiai Singo Modo. Ketika memasuki permakaman ini, pengunjung atau peziarah akan disambut sumber mata air jernih yang tidak pernah kering di musim kemarau sekalipun. Di sisi kiri dan kanannya terdapat makam sang istri dan para prajurit bawahan dari Keraton.
Mengutip informasi dari sragenkab.go.id, Sabtu, (19/8/2023), setiap malam Sura makam ini masih digunakan sebagai tempat sembahyang para peziarah dari berbagai daerah, seperti Yogyakarta dan Kediri. Selain sembahyang, peziarah juga datang untuk mandi di sungai sebanyak 7 kali. Areal ini memiliki fasilitas seperti musala, toilet, dan juga tempat parkir yang cukup luas.
Saat perang, Kiai Singomodo dan kelima sahabatnya pergi menyusuri Bengawan Solo dengan menggunakan gethek. Penyusuran Kiai Nasher berhenti di dukuh yang kini bernama Singomodo.
Penamaan Dukuh Singomodo sendiri berawal dari kedatangan Kiai Nasher. Dukuh ini dulunya masih berupa hutan belantara yang banyak binatang buas seperti singa. Kemudian dengan kemampuannya singa tersebut takluk ditangan Kiai Nasher. Singomodo diambil dari Singo yang berarti singa dan Modo berarti tidak bisa dipaido (dicela).
Banyak orang takjub dengan kesaktian Kiai Nasher hingga kemudian menjadikannya sebagai seorang guru. Ia lalu membuka padepokan yang mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santrinya. Konon, ada 90 santrinya yang meneruskan penyebaran agama Islam ke berbagai penjuru Tanah Air. Kiai Nasher juga dikenal sebagai petapa yang diyakini mampu bertapa dengan menyelam penuh di sungai selama tujuh hari.
Cerita ini berawal dari salah satu pengikut Kiai Singomodo yang melanggar aturan. Pengikutnya itu melampaui batas wilayah yang sudah ditentukan oleh Kyai Nasher untuk pergi menonton pertunjukan sinden.
Atas pelanggaran tersebut, pengikut Kiai Singomodo itu diminta untuk menikahi si sinden. Keduanya diminta tinggal di barat batas jalan yang sudah dibuat. Sedangkan Syekh Nasher dan pengikutnya tinggal di timur batas jalan.
Sejak saat itu pantangan mendengarkan lantunan atau yang nyanyian sinden di kawasan makam Kiai Nasher berlaku hingga saat ini. Banyak warga Dukuh Singomodo yang tidak berani mengundang sinden atau penyanyi wanita saat menggelar hajatan. Jika pantangan ini dilanggar, mereka khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.