by Kurniawan - Espos.id Solopos - Selasa, 5 Juli 2022 - 17:08 WIB
Esposin, SOLO -- Klarifikasi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengenai lokasi kasus dugaan pelecehan terhadap personel JKT48 yang disebut terjadi di Solo padahal di Sukoharjo membuat Sosiolog dari UNS Solo, Drajat Tri Kartono, khawatir.
Drajat khawatir pernyataan Gibran itu membuat Solo menjadi kota yang eksklusif atau tertutup. Nantinya kebanggaan warga Soloraya ketika mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Solo akan berkurang.
Menurut Drajat, masyarakat di wilayah Soloraya selama ini lebih suka atau mudah mengidentifikasi dirinya sebagai bagian Kota Solo karena lebih dikenal. Kondisi itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah Solo sebagai pusat Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
“Jadi itu ada sejarah ruangnya yang berasal dari kekuasan kerajaan dulu. Juga karesidenan, terkait dengan nilai untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian wilayah kota yang jadi pusat pertemuan, lebih mudah dikenali, dan lebih membanggakan,” ujarnya saat diwawancarai Esposin, Senin (4/7/2022).
“Jadi itu ada sejarah ruangnya yang berasal dari kekuasan kerajaan dulu. Juga karesidenan, terkait dengan nilai untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian wilayah kota yang jadi pusat pertemuan, lebih mudah dikenali, dan lebih membanggakan,” ujarnya saat diwawancarai Esposin, Senin (4/7/2022).
Drajat menilai klarifikasi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, terkait lokasi terjadinya dugaan pelecehan seksual terhadap anggota JKT48 berkaitan dengan ruang administrasi. Namun sesungguhnya Solo telah berkembang melampaui ruang administrasi itu.
Baca Juga: Luruskan Kabar Pelecehan Seksual JKT 48, Gibran Dipuji Dan Disindir
Drajat menilai Gibran tidak akan bisa menghentikan perluasan Solo sebagai ruang sosiologis di wilayah Soloraya. Bila perkembangan sosiologis itu ditahan, menurutnya, justru akan merugikan Solo sendiri. Yang harus diingat, masyararakat sudah paham ruang sosiologis Solo.
Baca Juga: Gibran Soal Pelecehan Seksual Personel JKT 48: Protesnya Ke Saya Semua!
Untuk itu, Drajat menilai Gibran tidak harus selalu responsif atau membingungkan seperti yang dilakukan dalam kasus dugaan pelecehan anggota JKT 48 di Solo Baru, Sukoharjo, yang disebut terjadi di Solo. Sebab situasi yang sama pernah terjadi sebelumnya, yaitu ketika stigma kota radikal melekat di Solo.
Padahal tindakan-tindakan radikal terjadi di daerah sekitar Solo. “Ya itu memang risiko dari menjadi besar dan identitas menjadi milik bersama. Tapi keuntungannya menjadi pusat identitas sehingga orang berumpul. Solo jadi besar karena jadi pusat hinterland,” imbuhnya.
Bila Gibran bersikap panik atau reaktif terhadap berbagai kejadian yang terkait nilai ruang atau sosiologis, Drajat menilai justru akan memperkeruh dan memperbesar masalah. Yang mesti ditanggapi, menurutnya, adalah perihal kasusnya, bukan soal identitas kotanya.
Baca Juga: Geramnya Gibran Soal Pelecehan Seksual JKT 48: The Park Itu Bukan Solo!
“Yang harusnya ditanggapi adalah kasusnya, bagaimana kasus itu terjadi, kemudian bagaimana penegakan hukumnya, dan bagaimana sebenarnya sistem tertib sosial di Solo dikembangkan. Bukan identitas kotanya. Karena sesungguhnya wilayah sekitar bukan Solo,” urainya.
Bila sedikit-sedikit Gibran bereaksi terhadap hal-hal semacam itu, Drajat khawatir Solo akan berkembang menjadi kota yang ekslusif. Padahal bila menilik sejarahnya, Solo harus menjadi bagian wilayah sekitar. Sebab fungsi kota tak akan berkembang tanpa hinterland.