Langganan

Jejak Rumah Ki Gede Sala sebelum Keraton Solo Dibangun, Ternyata Ini Lokasinya - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Kurniawan  - Espos.id Solopos  -  Sabtu, 27 Agustus 2022 - 06:00 WIB

ESPOS.ID - Tempat penyimpanan meriam Nyai Setomi di Sitihinggil Kompleks Keraton Solo. (Dok Solopos)

Esposin, SOLO -- Sebelum Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun, wilayah Desa Sala dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Ki Gede Sala. Keraton Solo dibangun pada 1740-an.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Esposin dari komunitas pencinta sejarah Solo, Solo Societeit, Kerajaan Mataram di Kartasura pindah ke Desa Sala pada masa Ki Gede Sala III.

Advertisement

Diceritakan bahwa jejak rumah Ki Gede Sala III konon berada di sekitar Sitihinggil kompleks Keraton Solo. Tapi ada juga yang meyakini lokasi itu sebenarnya makam Ki Gede Sala III.

“Area ujung barat meriam di Sitihinggil diyakini Makam Ki Gede Sala III. Tapi berdasarkan peta lawas itu bekas rumah beliau,” ujar Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni, saat diwawancarai Esposin, Jumat (26/8/2022).

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, menurut Dani, hingga sekarang tempat itu masih dihormati di Keraton Solo sebagai punden petilasan. Bahkan hingga saat ini masih ada sejumlah orang yang berziarah ke tempat itu.

Advertisement

Baca Juga: Misteri Batu Selo Pamecat dan Kisah Begal yang Berakhir Tragis di Keraton Solo

“Di situ ada semacam makam, tapi tidak ada nisannya. Lokasi itu masih diziarahi orang sampai sekarang. Lokasi itu banyak orang mengira adalah makam Ki Gede Sala. Tapi sebenarnya itu adalah bekas rumah dari Ki Gede Sala III,” terangnya mengenai jejak sejarah Ki Gede Sala.

Tempat Sakral

Dani menjelaskan Ki Gede Sala III berbeda dengan Ki Gede Sala yang menemukan jenazah Raden Pabelan atau Kiai Bathang yang makamnya di Kompleks Beteng Trade Center (BTC). Dia juga mengatakan Sitihinggil merupakan tempat yang sakral.

Di tempat itu terdapat sembilan meriam pusaka yang salah satunya bernama Nyai Setomi. Meriam ini berada di Bangsal Manguneng, Sitihinggil. Ketika Raja menduduki singgasana di Sitihinggil, seolah-olah dia menyunggi meriam Nyai Setomi.

Advertisement

Baca Juga: Kisah Mistis Goplem, Raksasa Gaib Penunggu Sitihinggil Keraton Solo

“Saat Raja bertakhta akan duduk di bawah Nyai Setomi. Seolah-olah Raja nyunggi meriam. Maknanya, raja nyunggi kaluhurane ibu. Jadi konsep wanita yang mengubah sejarah ada dalam tradisi Jawa. Ibu itu sangat dan wajib dihormati,” tuturnya.

Raja tidak mengizinkan siapa pun melihat pusaka Nyai Setomi. Hanya Raja dan juru kunci yang dipercaya untuk menjamasi Nyai Setomi yang diperbolehkan masuk. Cerita yang berkembang, meriam pusaka Nyai Setomi bisa menangis.

“Nah kalau kita masuk ke Sitihinggil, zaman dulu tidak boleh berdiri. Karena ini tempat sakralnya raja. Raja kalau duduk di Singgasana, bukan berleha-leha tapi bermeditasi. Maka biar raja konsentrasi, dibuatlah Tugu Pamandengan,” paparnya.

Advertisement
Suharsih - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif