by Afifa Enggar Wulandari - Espos.id Solopos - Jumat, 15 April 2022 - 09:50 WIB
Esposin, SOLO -- Gerak dalang membawakan lakon wayang beber meramaikan serambi Masjid Al Wustho Mangkunegaran Solo seusai Salat Tarawih, Rabu (13/4/2022) malam. Pertunjukan tersebut diadakan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Kota Solo.
Seni pertunjukan wayang, suasana Ramadan, dan arsitektur Masjid Pura Mangkunegaran tersebut melahirkan perpaduan yang sesuai dengan judul kegiatannya, yaitu Ngaji Budaya. Wayang beber sendiri merupakan seni pewayangan menggunakan media gambar di atas gulungan kertas atau kain menggunakan teknik pewarnaan sungging.
Berdasarkan informasi yang didapat Esposin, Wayang Beber diperkirakan ada sejak abad ke-19 pada masa kerajaan Majapahit. Pementasan wayang beber berbeda dengan wayang golek dan wayang kulit.
Baca Juga: Bukber & Tarawih di Masjid Al Wustho Mangkunegaran Solo Tak Kalah Ramai
Baca Juga: Bukber & Tarawih di Masjid Al Wustho Mangkunegaran Solo Tak Kalah Ramai
Pada pertunjukan wayang beber seperti di Masjid Al Wustho Solo malam itu, dalang menggunakan media serupa tongkat kecil untuk menunjukkan tokoh siapa dan adegan apa yang sedang ia sampaikan. Dalang akan menunjuk objek di atas lukisan gulungan kain atau beberan.
Pada Ngaji Budaya, Rabu malam itu, mengangkat cerita atau lampahan berjudul "Babaring Cakra Manggilingan ing Sasi Ramadan". Cakra manggilingan diartikan sebagai roda yang berputar. Tajuk Ngaji Budaya tersebut kurang lebih bermakna membahas kehidupan bak roda yang berputar di bulan Ramadan.
“Nama Orashima Taro dalam Jepang, dan Cakrasena dalam Jawa. Iya cerita dari Jepang lalu diakulturasikan,” jelas Amar. Salah satu tokoh pada wayang beber yang berpakaian biru pada pertunjukan di Masjid Al Wudtho Solo, Cakrasena, pada adegan pewayangan banyak menyampaikan pesan.
Salah satunya, manusia mempunyai kesempatan yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga manusia mampu membuat kebahagiaan dan ketenteraman kepada sesama makhluk.
“Panguripaning tiyang agesang menika gadhah kamardikan sami wonten ing ngarsaning Gusti. Saengga sasamaning dumadi sageda karyenak tyasing sasama,” kata Cakrasena.
Baca Juga: Menjelajahi Masjid-Masjid Tertua di Solo, Ada Yang Hampir 500 Tahun
Pertunjukan lampahan terus berlanjut. Gulungan kain sebagai media pertunjukan terus dibuka. Satu sisi digulung, satu sisi digelar. Dengan dua tongkat pengait yang berdiri di kanan kirinya.
“Yen isa tresna marang sapadha-padha [jika mampu kasihilah sesama]. Awakdhewe urip mubeng, ora ana tujuan sing tetep [kita hidup berputar, tak ada tujuan yang pasti]. Tresnani bumi iki, syukuri apa adanya, [cintailah bumi dan bersyukurlah],” jelas Amar.
Baca Juga: Berburu Pahala dengan Iktikaf di Masjid Kota Solo, Apa Saja Amalannya?
Sementara itu, Ketua Lesbumi Solo, Mohamad Arif Wibowo, dalam sambutannya pada pertunjukan Rabu (13/4/2022) malam itu mengatakan hal yang ia ingat dari cara dakwah leluhurnya ialah dengan ilmu dan seni. Tanpa seni, Arif menilai dakwah akan menjadi sebuah tindak kezaliman saja.
“Salah satunya yang saya ingat dari sesepuh adalah dakwah kalau tidak menggunakan ilmu akhirnya akan ngawur. Kemudian dakwah bila tanpa kesenian menjadi zalim,” ungkap Arif.