Langganan

Hoaks Mengakibatkan Trauma pada Kelompok Minoritas di Kota Solo - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Wahyu Prakoso  - Espos.id Solopos  -  Sabtu, 31 Agustus 2024 - 13:02 WIB

ESPOS.ID - More than just publish.

Esposin, SOLO–Sejumlah konten hoaks beredar melalui media sosial menyasar kelompok minoritas. Konten tersebut membuat para anggota kelompok minoritas dihantui rasa khawatir hingga membekas trauma.

Di Solo, konten hoaks merugikan anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Solo dan sejumlah warga etnis Tionghoa. Para anggota kelompok minoritas aktif menangkal hoaks dengan berbagai upaya.

Advertisement

Pengguna akun Twitter atau platform X @bnsphrxyzzz mengunggah konten video perusakan makam yang diduga anggota Ahmadiyah di Pakistan. Ada puluhan orang yang terlibat pada aktivitas tersebut.

Akun @bnsphrxyzzz menjelaskan tidak ada tempat untuk menguburkan jenazah seorang Ahmadiyah di pemakaman Sheikhupura, Pakistan. Jenazah seorang Ahmadiyah diduga dikeluarkan dari kuburan dan dibuang setelah adanya protes dari massa Muslim dan pembongkaran kuburan.

Akun @Haryand17 mengomentari konten video tersebut dengan mengklaim Ahmadiyah sesat. Dia menjelaskan Ahmadiyah berpedoman dengan ajaran nabi baru.

Advertisement

“Pahami dulu soal Ahmadiyah itu sesat, karena ngaku ajaran nabi baru. Ahmadiyah kalau dibiarkan menyesatkan yang lain, seharusnya dia bikin agama baru sendiri jangan mengaku sebagai nabi baru agama Islam. Ibarat kanker, kalau gak di kemo, nyusahin,” jelas dia, Rabu (31/1/2024).

Pengguna X lainnya, @cahayafikiran membalas konten video yang menampilkan seseorang yang sedang melakukan wawancara dengan salah satu aktivis sekaligus politikus Guntur Romli. Konten itu di-posting pengguna Twitter @Naz_lira.

Guntur menjelaskan kerap mengikuti acara jalsah salanah Ahmadiyah sejak 2009 di berbagai daerah, misalkan Jakarta, Banten, dan London. Jalsah diadakan untuk mempererat silaturahmi antar jemaat serta menambah wawasan mengenai ajaran.

Guntur menjelaskan tugas pemerintah melindungi setiap warga dari bentuk-bentuk kekerasan. Sedangkan warga taat pada aturan hukum dan membayar pajak.

Advertisement

Lalu @cahayafikiran berkomentar mengenai konten video wawancara tersebut. Dia menjelaskan Ahmadiyah merupakan boneka zionis dalam proses pemecahan umat Islam. Ahmadiyah didirikan di India dan didukung Inggris untuk memecah belah Islam untuk menguasai India.

“Ahmadiyah bukan agama Islam. Syahadat pertamanya adalah kepada Allah, tetapi syahadat keduanya kepada Mirza Ghulam Ahmad. Kafir Laknatullah,” jelas dia, Minggu (22/8/2022).

Sementara itu, pengguna akun @syekh_kyai_lmao mengklaim sesat terhadap 10 kelompok melalui cuitannya, Senin (26/8/2024), yakni Syiah, Asy’ariah, Maturudiyah, Wahabi, Sufi, Muktazilah, Murji’ah, Khawarij, Ahmadiyah, dan Islam Nusantara. Dia tidak menjelaskan alasan 10 kelompok tersebut sesat.

Selain hoaks menyasar sejumlah kelompok Islam, konten provokatif menyasar etnis Tionghoa melalui Tiktok. Warga Sragen, Ellen membuat aduan kepada Wali Kota Solo melalui Unit Layanan Aduan Surakarta (ULAS), Minggu (5/6/2024).

Advertisement

Ellen merupakan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS). Dia adalah keturunan dari keluarga campuran etnis Jawa dan Tionghoa.

Ellen menunjukkan kepada Wali Kota Solo tangkapan layar konten Tiktok. Konten itu menanyakan adakah yang setuju jika mengulangi aksi demo 1998 dengan merampok PT, CV, pertokoan China, dan orang-orang kaya karena korupsi. Tujuannya supaya semua penduduk sama di Indonesia.

“Saat ini saya sering khawatir dengan konten ujaran kebencian yang dibuat beberapa orang di aplikasi Tiktok yang menjadi provokator untuk melakukan penjarahan dan pembunuhan kepada orang-orang beretnis Tionghoa,” jelas dia.

Dia meminta Wali Kota Solo untuk mengusut para pembuat konten serta pengguna akun penyebar konten. Mereka telah membuat konten yang memprovokasi.

Advertisement

Pembina Kerohanian/Mubaligh JAI Solo, Muhaimin Khoirul Amin, mengatakan para anggotanya kerap menjumpai konten hoaks. Padahal, Nabi para anggota JAI merupakan Muhammad, memiliki syahadat yang sama dengan Islam, kitab suci yang sama berupa Al’Quran, dan ibadah haji ke Mekkah.

“Pada bulan Dzulhijjah banyak anggota kami naik haji ke Mekkah. Anggota kami yang ke Kardia, India, merupakan pertemuan tahunan berupa pengajian,” jelas dia ditemui Esposin di Sekretariat JAI Solo, Minggu (11/8/2024).

Menurut dia, dampak hoaks yang paling membekas Sekretariat JAI Solo maupun Masjid Baitul Karim (Ahmadiyah) ditutup oleh ormas Islam pada 2008 sehingga para anggota JAI tidak bisa beribadah. “Lama-lama warga butuh tempat senam akhirnya mereka membuka pagar,” kata dia.

Puluhan anak muda mengikuti pelatihan untuk perdamaian di Perpustakaan BRAY Mahyastoeti, Sekretariat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Solo, Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Minggu (11/8/2024). (Esposin/Wahyu Prakoso)

Selain itu, peristiwa perusakan masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, 2021 lalu berdampak ke JAI Solo. Seluruh aktivitas keagamaan JAI dipantau aparat. Mereka meminta JAI mempercepat durasi acara. “Itu gak nyaman apalagi anggota perempuan dan anak lihat polisi. Trauma,” ungkap dia.

Muhaimin mengatakan berbagai upaya dilakukan untuk menangkal hoaks dengan mengikuti kegiatan masyarakat dan olahraga. Sekretariat JAI Solo memiliki fasilitas lapangan untuk warga melakukan berbagai kegiatan olahraga.

Advertisement

“Olahraga tidak ada sekat, kami bisa berteman dengan siapapun, berbagai mengenai Ahmadiyah supaya saling mengenal untuk mengurangi gesekan-gesekan dan kecurigaan,” papar dia.

Selain itu, berbagai upaya dilakukan JAI Solo untuk melawan hoaks, misalkan menggandeng akademisi membuat kajian mengenai Ahmadiyah, menggandeng media massa, aktif dalam seminar, hingga pelatihan untuk perdamaian melibatkan anak muda.

“Di Solo harus terus menyosialisasikan, mengklarifikasi, dan membuka diri selebar lebarnya supaya masyarakat lebih mengenal Ahmadiyah,” papar dia.

Kepala Program Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia Zezen Zaenal Mutaqim menjelaskan masih banyak stigma negatif terhadap kelompok minoritas, sebagai contoh Ahmadiyah dan Syiah. Ada beberapa kelompok minoritas yang tersingkir di berbagai daerah di Indonesia.

“Stigma terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah itu terjadi karena orang tak berjumpa secara langsung. Perjumpaan seperti ini yang kami akan fasilitasi, berjumpa untuk ngobrol. [Hoaks] Ahmadiyah punya Al’Quran baru, nabi baru, itu tidak terbukti kalau bertemu langsung,” jelas dia.

Dia menjelaskan kondisi JAI di Solo lebih baik daripada daerah-daerah lain. Terakhir ada masalah dengan JAI pada 2008. Tantangan JAI Solo harus terbuka. Umat Islam lain juga harus terbuka dengan JAI.

Menurut dia, kepala daerah harus menjadi contoh yang baik. Ada perbedaan ideologis maupun penafsiran antarwarga namun jalan damai harus menjadi yang utama di dalam kehidupan bermasyarakat.

Koordinator Peace Generation Solo sekaligus kader Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Ninin Karlina menjelaskan Tiktok merupakan salah satu platform yang digunakan hampir semua anak muda. Tiktok seolah menjadi jalan pintas untuk membagikan konten karena mudah viral.

Menurut dia, orang yang membuat konten ujaran kebencian kepada etnis Tionghoa melalui media sosial untuk pansos atau emosi sesaat. Mereka tidak berpikir dampak dari konten yang mereka bagikan apakah membuat permusuhan.

“Mereka kurang literasi digital, terkait cakap digital atau etika digital,” jelas Ninin kepada Esposin, Jumat (30/8/2024).

Menurut dia, warga sipil bisa merespons konten hoaks dengan menyediakan konten alternatif atau konten narasi yang kontra. Warga sipil bisa bergerak tanpa menunggu kebijakan dari para pemangku kepentingan. Semua pihak bisa berkontribusi sesuai dengan peran masing-masing.

 

Advertisement
Astrid Prihatini WD - I am a journalist who loves traveling, healthy lifestyle and doing yoga.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif