by Cahyadi Kurniawan - Espos.id Solopos - Senin, 8 November 2021 - 20:14 WIB
Esposin, BOYOLALI—Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah (Jateng) menemukan tiga candi perwara dalam penggalian Situs Watu Genuk di Dukuh Watu Genuk, Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo. Penemuan ini mengkonfirmasi struktur yang ditemukan pada 2016 merupakan candi induk.
Candi perwara ini berukura 5,5 meter kali 5,5 meter. Selain menemukan tiga candi perwara, BPCB juga menemukan beberapa batu berukir dan batu menyerupai pipi tangga masuk ke candi. Batu-batu ini dititipkan kepada warga setempat untuk menghindari terjadi pencurian.
Pamong Budaya Ahli Muda di BPCB Jateng, Winarto, mengatakan penggalian ini diawali dengan pemetaan menggunakan ground penetrating radar (GPR). GPR akan memeriksa anomali kondisi bawah tanah tanpa memerlukan penggalian.
Baca Juga: Proyek Grha Megawati Klaten Diguyur APBD 2022 Senilai Rp19 Miliar
Baca Juga: Proyek Grha Megawati Klaten Diguyur APBD 2022 Senilai Rp19 Miliar
Hasil pemetaan inilah yang menjadi dasar mana saja lokasi yang direkomendasikan untuk digali lebih lanjut. Penelitian ini merupakan lanjutan penemuan struktur pada 2016 lalu.
Dari sini ketemu sebuah struktur yang diduga merupakan talut atau pagar candi. Penelitian kedua inilah yang mengkonfirmasi struktur temuan pada 2016 lalu.
Baca Juga: Desa Kepurun Didatangi Belanda, A.H. Nasution Pindah hingga Kulonprogo
Dari penemuan ini, Winarto menduga struktur yang tersisa ini menyerupai bangunan yang ditinggikan.Struktur yang terbuat dari batu putih dan batu andesit ini menjadi semacam fondasi atau umpak untuk menahan kayu dan atap bangunan.
Keberadaan lingga, yoni, nandi, dan lainnya menjadi ciri bahwa situs ini dulunya dipakai sebagai tempat ibadah umat Hindu. Berdasarkan penanggalan, bentuk ornament yang ada, bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi.
Baca Juga: Jejak A.H. Nasution di Klaten, dari Desa Taskombang sampai Kepurun
Candi, lanjut Sumastopo, berasal dari kata Dewi Candiko yang mengajarkan kesucian. “Candi mengisyaratkan ajaran bukan sensasi supaya bisa dibedah oleh keturunannya apa maksud candi ini. Sekarang terjebak pada makna komersial sebagai tempat wsata religi dan lainnya. Ada ajarannya tapi tidak pernah dikupas,” kata Topo, panggilan akrabnya.
Selain candi, nilai-nilai ajaran leluhur kerap disampaikan dalam bentuk lisan. Kemudian, ajaran ini diabadikan dalam bentuk karya sastra yang ditulis di daun lontar.
Sayangnya, peninggalan leluhur ini banyak dicuri oleh penjajah. “Candi ini mengisyaratkan tingkatan keilmuan. Di Boyolali mengisyaratkan Siwa-Wisnu semua. Ada lingga, yoni, ganesha, dan lainnya,” ujar Topo.