by Taufiq Sidik Prakoso - Espos.id Solopos - Kamis, 3 September 2020 - 16:00 WIB
Esposin, KLATEN – Warga Dukuh Gajihan, Desa Pandeyan, Kecamatan Jatinom, Klaten mulai mengumpulkan bebatuan yang diyakini sebagai reruntuhan candi era Mataram Kuno di kawasan Belik Pitu Ki Ageng Gribig.
Lama teronggok di berbagai tempat, sejumlah warga berinisiatif mengumpulkan benda-benda cagar budaya yang masih tersisa. Inisiatif itu salah satunya muncul dari Hardiyana, 46, warga Gajihan.
“Sebenarnya benda-benda ini kan sudah ada ratusan tahun lalu dan sebagian warga sudah hidup dengan benda-benda ini. Akhirnya ada kesadaran dan meyakini pasti ada sejarah serta nilai-nilainya. Kemudian kami berinisiatif mengumpulkannya pada satu lokasi yang semestinya,” kata Hardiyana saat ditemui di Dukuh Gajihan, Selasa (1/9/2020).
Lebih lanjut, Hardi mengatakan usaha warga untuk terus menyelamatkan benda cagar budaya yang masih tersisa di wilayah Gajihan dan sekitarnya terus dilakukan. Begitu pula dengan membangun kawasan Belik Pitu.
Lebih lanjut, Hardi mengatakan usaha warga untuk terus menyelamatkan benda cagar budaya yang masih tersisa di wilayah Gajihan dan sekitarnya terus dilakukan. Begitu pula dengan membangun kawasan Belik Pitu.
Tak Pakai Masker, Sri Mulyani Dihukum Menyapu Jalan di Klaten
Dari batu-batu yang terkumpul, mereka berencana mendata dan membikin tulisan untuk menjelaskan jenis batuan serta fungsinya sebagai media edukasi. Mereka bersama-sama mulai mengumpulkan benda peninggalan cagar budaya yang masih tersisa mulai Juni 2020 lalu.
Nama Belik Pitu disematkan lantaran ada tujuh mata air di tempat itu. Setiap mata air diberi nama sesuai nama pohon yang berdiri di sekitarnya yakni kemuning, lerak, gayam,joho, randu alas, tanjung, serta asem.
Belik Pitu dipilih menjadi lokasi mengumpulkan bebatuan diduga reruntuhan candi Mataram lantaran tempat itu diyakini menjadi pusat ditemukannya bebatuan candi sebelum menyebar ke berbagai lokasi.
Avanza Seruduk Tiang Listrik Usai Tabrakan dengan Vespa di Solo, Begini Kronologinya
Selain itu, mereka membuat bangunan berkonstruksi kayu untuk menempatkan batuan candi yang berhasil dikumpulkan. Rumah menyimpan batuan candi itu mereka beri nama Omah Palon.
Hardi mengatakan kini sudah ada sekitar 65 batuan bekas candi Mataram yang terkumpul di tempat tersebut. Batuan candi yang berhasil dikumpulkan seperti yoni, struktur batuan kemuncak, arca nandi, dan batuan candi lainnya.
Ada pula batu bata merah yang diperkirakan menjadi struktur candi. Oleh warga, mereka berinisiatif menyusun batu bata merah yang sudah terkumpulkan membentuk bangunan candi.
Selain itu, ada batuan pendukung lainnya yang diyakini peninggalan tempo dulu seperti lumpang, kenteng, dan pipisan atau alat untuk menghaluskan ramuan obat.
Inilah Sosok Nunggal Si Preman Paling Garang di Solo Selama 36 Tahun Terakhir
Bebatuan itu bukan hanya berasal dari wilayah Gajihan. Ada warga dari luar dukuh yang secara sukarela menyerahkan batu cagar budaya yang selama ini berada di rumah mereka atau dibiarkan tergeletak di pekarangan rumah.
Selain itu, kawasan Belik Pitu belakangan menjadi pusat kegiatana budaya warga dengan mengembangkan Sanggar Budaya Gajahan. Anak-anak mulai diajak berlatih seni secara gratis di kawasan tersebut setiap akhir pekan.
“Mimpi kami agar nilai-nilai leluhur itu tidak terputus dari generasi yang ada di kampung kami. Oleh karena itu tempat ini kami jadikan pusat kebudayaan,” kata Hardi.
Gaya Wika Salim Naik Motor Gede Bikin Pria Adem Panas, Mau Dibonceng?
Di sisi lain, Hardi berharap ada tindak lanjut untuk menelusuri struktur candi di Gajihan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Warga meyakini di bawah pekarangan yang ada di dukuh setempat terkubur batuan candi.
Pegiat Klaten Heritage Community, Hari Wahyudi, mengapresiasi cara warga Gajihan merawat sisa benda cagar budaya yang ada di kampung mereka. Dia berharap cara warga tersebut bisa diikuti warga di wilayah lain yang ditemuan banyak peninggalan cagar budaya.