by Muhammad Diky Praditia - Espos.id Solopos - Minggu, 7 Juli 2024 - 18:16 WIB
Esposin, WONOGIRI — Sura atau Muharam dianggap sebagai bulan yang sakral di kalangan masyarakat Jawa, tak terkecuali di Kabupaten Wonogiri. Warga Kota Sukses menyambut meriah datangnya bulan pertama di kalender Hijriah (Islam) dan kalender Jawa itu dengan berbagai cara.
Ada yang menggelar tradisi ritual seperti melarung, pertunjukan wayang, kirab, dan pertunjukan kesenian lainnya. Perayaan dan penyambutan bulan Sura di setiap wilayah Kabupaten Wonogiri tidak selalu sama.
Di Desa Tasikhargo, Kecamatan Jatisrono, misalnya, pada Sabtu (6/7/2024), warga desa setempat menggelar kirab tumpeng berisi hasil bumi dari setiap dusun. Tumpeng-tumpeng itu dikirab di Alas Mbogo, Desa Tasikhargo, kemudian diperebutkan ratusan warga desa.
Tak hanya kirab, warga desa juga menyelenggarakan pertunjukan seni budaya mulai dari karawitan hingga reog. Masih di Kecamatan Jatisrono, warga Desa Tanjungsari, Jatisrono, merayakan pergantian tahun Jawa dengan menggelar seni pertunjukan reog di lapangan desa setempat, Minggu (7/7/2024).
Tak hanya kirab, warga desa juga menyelenggarakan pertunjukan seni budaya mulai dari karawitan hingga reog. Masih di Kecamatan Jatisrono, warga Desa Tanjungsari, Jatisrono, merayakan pergantian tahun Jawa dengan menggelar seni pertunjukan reog di lapangan desa setempat, Minggu (7/7/2024).
Acara tahunan ini menyedot ribuan warga. Pertunjukan itu juga berdampak baik terhadap usaha mikro kecil desa. Di Kecamatan Baturetno pun tak jauh berbeda. Warga kecamatan itu merayakan Grebeg Suro dengan kirab tumpengan pada Sabtu malam.
Sementara di Kecamatan Giriwoyo, perayaan Grebeg Suro digabung dengan kegiatan Giriwoyo Night Show yang menampilkan berbagai kesenian tari dan ditutup pergelaran wayang kulit.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Wonogiri, Eko Sunarsono, menerangkan Sura atau Muharam menjadi bulan penting bagi masyarakat Wonogiri. Bulan ini dianggap sakral, suci, dan penuh keberkahan.
Maka wajar banyak warga Wonogiri yang menyambut bulan Sura dengan berbagai macam ritual. Kegiatan itu sebagai cara warga Wonogiri yang merupakan masyarakat Jawa untuk mawas diri. Mereka bermuhasabah dan introspeksi terhadap perilaku diri selama setahun tahun terakhir.
Zaman dulu Sura diperingati dengan kirab jalan kaki ke tempat-tempat sakral di Wonogiri, misalnya dari Baturetno menuju Kahyangan, Dlepih, Tirtomoyo. Kemudian menjamas atau membersihkan pusaka-pusaka.
Sementara itu, penyambutan tahun baru Hijriah saat ini lebih banyak dengan kegiatan pertunjukan kesenian seperti wayang kulit dan reog. Perubahan itu tidak menjadi masalah, melainkan hal lumrah dalam kebudayaan. Yang terpenting Grebeg Suro masih dilaksanakan dengan cara positif.
“Rata-rata desa masih menggelar pertunjukan wayang semalam suntuk tadi malam, malam 1 Suronya. Beberapa tahun lalu, kami mencoba kirab jalan kaki bareng-bareng ke tempat sakral. Tetapi ada yang merespons kegiatan itu sebagai kegiatan melenceng dari agama, ya tidak apa-apa. Ini namanya perubahan,” jelas Eko saat dihubungi Esposin, Minggu.
Menurut Eko, kegiatan pertunjukan kesenian itu harus tetap dilestarikan. Ruang-ruang kebudayaan itu merupakan modal sosial yang bisa menjaga kondusivitas dan rasa saling memiliki kedaerahan.
Camat Jatisrono, Trisnadi Tulus, mengatakan setiap tahun beberapa desa di kecamatannya rutin menggelar perayaan pergantian tahun Jawa. Selain memiliki aspek spiritual, perayaan itu juga mengandung nilai-nilai sosial-budaya.
Kegiatan itu menjadi wadah warga saling bertemu, berinteraksi, sekaligus berdampak pada pertumbuhan ekonomi desa. “Warga jadi guyub, senang. Ini menjadi ruang publik mereka, jadi hiburan,” ungkapnya.