by Kurniawan - Espos.id Solopos - Kamis, 6 Januari 2022 - 20:29 WIB
Esposin, SOLO -- Ketua komunitas pencinta sejarah Solo Societeit yang juga pegiat Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dani Saptoni, menjelaskan mantra ilmu atau ajian pengasihan Semar Mesem bukan sekadar merapal mantra.
Dalam materi kajiannya berjudul Mantra Pengasihan Semar Mesem sebagai Wujud Kekuatan Psikologi Jawa, Dani menuliskan penggalan mantra pengasihan Semar Mesem. Mantra itu menggunakan bahasa Jawa. Berikut penggalannya:
Niyat ingsun amatek ajiku si semar mesemBaca Juga: Mengenal 7 Pengasihan dalam Tradisi Jawa, Semar Mesem Paling Legendaris AdvertisementMut-mutanku inten
Cahyane manjing pilinganku kiwa lan tengen
AdvertisementCahyane manjing pilinganku kiwa lan tengen
........
Apa maneh yen sing nyawang kang tumancep
Advertisement.......
Welas asih marang badan sliraku
.......
Seperti halnya mantra lainnya, kalimat dalam mantra ajian pengasihan Semar Mesem diawali dengan penegasan unsur niat bahwa pelaku mantra hendak menggunakannya sebagai media dalam tindakannya untuk mencapai tujuan.
Hal itu lantaran niat dalam tradisi Jawa merupakan faktor penting dalam berbagai sudut pola kehidupan. Niat juga memberikan dampak terhadap sugesti yang diasumsikan dalam pikiran manusia (Rohmayani, 2019: 346).
Dari susunan kalimat mantra pengasihan Semar Mesem ditegaskan harapan serta tujuan yang hendak dicapai pelaku mantra Semar Mesem adalah keinginan agar dicintai serta dikasihi oleh sasaran dari mantra tersebut.
Baca Juga: Terbit 1855 dan Beraksara Jawa, Inilah Surat Kabar Pertama di Kota Solo
“Itu kan ada niat. Orang berniat itu berarti ada unsur kepercayaan di situ. Meskipun niat, tapi nek ora percaya sama juga bohong. Mantra itu meskipun tidak pakai laku dan sebagainya, tapi yang terpenting dari mantra itu adalah stilistika dan ritme,” terangnya saat diwawancarai Esposin melalui telepon, Kamis (6/1/2022) sore.
Dani menjelaskan stilistika merupakan gaya bahasa. Seperti halnya puisi, menurutnya, unsur stilistika dalam mantra pengasihan Semar Mesem sangat kental. Ia mencontohkan gaya bahasa puisi sedih yang tak tepat dibaca dengan cengengesan.
Baca Juga: Tak Seperti Jogja, Apa Alasan Daerah Istimewa Surakarta Dihapuskan?
“Ritme dan gaya bahasa yang disampaikan ya yang mencerminkan unsur kesedihan sebagaimana maksud puisi itu ditulis. Seperti halnya dengan mantra. Itu kalau tidak sesuai intonasi gaya bahasa dan ritmenya, efek dari mantra itu juga tidak memiliki muatan energi apa pun. Itu dalam kebudayaan Jawa,” terangnya.
Untuk itu, Dani menerangkan ada laku puasa mutih dan sebagainya ketika orang akan merapalkan mantra. “Kalau kita bahas secara anatomi tubuh manusia terkait dengan linguistik itu menyesuaikan dengan pita suara supaya intonasi dan getaran suara yang dikeluarkan pas dan mantep sesuai dengan niatnya,” katanya.
Sebelumnya, Dani mengungkapkan ada sedikitnya tujuh jenis mantra pengasihan di mana yang paling legendaris dan dikenal adalah mantra pengasihan Semar Mesem. Mantra lainnya ada Semar Gedhe, Semar Wulan, Semar Putih, Semar Kuncung, Semar Ireng, dan Semar Kuning.