Esposin, SRAGEN—Warga Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Sragen Kota, Sragen, mengklaim lahan seluas 6.750 m2 yang kini dikuasai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen masih menjadi hak milik tiga orang. Mereka bersikukuh tetap menggarap lahan tersebut karena mereka merasa data yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih atas nama mereka, meskipun bukti fisik sertifikat asli sudah tidak ada.
Perwakilan tiga orang warga Karangtengah, Sukiran, 78, saat dihubungi Esposin, Selasa (2/7/2024), mengungkapkan awalnya ada surat dari Pemkab Sragen yang diterimanya pada Jumat (28/6/2024). Surat itu berisi bahwa Sukiran dan dua orang warga lainnya tidak dibolehkan menggarap sawah tersebut. Atas dasar surat dari Pemkab Sragen itu, Sukiran kemudian memasang plakat yang menunjukkan bahwa lahan itu sudah hak milik atas nama tiga orang.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
“Dari utara, lahan milik Samidi seluas 2.250 m2, sebelah selatannya milik almarhum Suroto seluas 2.250 m2, dan sebelah selatannya lagi milik saya dengan luas yang sama. Saya menggarap sawah itu sejak tiga tahun yang lalu. Sebelumnya sawah itu dikuasai Pemda karena sertifikat saya ditarik Pemda terus dikuasai Pemda pada masa Bupati H.R. Bawono,” jelas Sukiran.
Dia mengisahkan lahan itu awalnya warisan dari orang tua dia yang menggarap lahan itu sejak zaman Belanda. Dia mengaku tidak tahu ceritanya sampai orang tuanya meninggal dunia kemudian diwariskan.
“Lalu ada aturan Gubernur kalau lahan itu boleh disertifikatkan. Kemudian saya sertifikatkan dengan biaya yang tidak sedikit. Saya pegang sertifikat asli atas nama saya dan dua orang lainnya juga pegang sertifikat masing-masing pada 1982,” jelas Sukiran, warga Kampung Ngonce RT 002/RW 009, Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Sragen Kota, Sragen.
Sukiran melanjutkan pada 1991 sertifikat hak miliknya ditarik Pemkab Sragen di bawah Bupati H.R. Bawono dan sejak itu lahan dikuasai Pemkab Sragen. Dia mengatakan tidak tahu tetapi hanya mendengar kabar bahwa Pemkab Sragen sudah memiliki sertifikat hak pakai atas tanah tersebut.
“Saya sendiri juga belum tahu barang [wujud fisik] sertifikat hak pakai itu. Munculnya sertifikat hak pakai itu belum lama. Setelah kami ramaikan kemudian muncul sertifikat hak pakai itu. Kemudian kami dimediasi ke Pemkab Sragen dan hasilnya sama-sama merasa memiliki lahan itu,” jelasnya.
Pascamediasi, Sukiran menyampaikan sawah itu digarap tiga warga. Dia merasa memiliki kekuatan hukum karena sertifikat itu masih atas namanya meskipun barang aslinya tidak ada. Dia mengaku sudah mengecek sendiri ke BPN dua tahun lalu dan masih atas namanya tetapi bukti sertifikatnya sudah hilang karena kenyataannya tidak ada sampai sekarang.
“Kalau saya mengurus lagi tidak bisa. Katanya sudah tumpang tindih dan sudah ada sertifikat hak pakai. Sekarang saya pegang fotokopi sertifikat atas nama saya dan dua warga lainnya juga saya pegang. Meskipun pegang fotokopi, terbukti setelah dilacak ke BPN masih atas nama kami bertiga,” ujar dia.
Setelah plakat yang dipasangnya dicabut petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sragen, Sukiran bersikukuh tetap menggarap sawah itu lagi. “Kalau Pemkab mau menggarap kan bukan haknya. Sawah itu yang menggarap saya semua karena dua warga lainnya sudah tua-tua,” kata Sukiran.
Sebelumnya, Ketua Tim Pengamanan dan Pemanfaatan Aset Barang Milik Daerah Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Sragen, Nanang Sulistyo Nugroho, menjelaskan tanah itu awalnya eks-banda desa atau eks-lungguh bayan. Dia menjelaskan tanah eks-banda desa tidak boleh disertifikatkan hak milik sehingga sertifikat itu ditarik kembali dan dihapuskan dari BPN.
“Kami mengajukan pensertifikatan atas nama Pemkab Sragen tahun 1994. Jadi, sekarang tanah ini sudah milik Pemkab Sragen sejak 1994. Sebelumnya Pemkab sudah berkirim surat ke pihak yang bersangkutan, bahwa tanah akan digunakan untuk kepentingan Pemkab, terutama untuk demplot pertanian sehingga warga yang bersangkutan tidak boleh menggarap lagi,” ujar Nanang.