Esposin, KLATEN -- Tradisi sebaran apam Yaaqawiyyu di Lapangan Klampeyan, Kelurahan/Kecamatan Jatinom, Klaten, tak pernah gagal menyedot perhatian orang-orang untuk berdatangan.
Tak hanya datang untuk saling berebut apam, tradisi penuh makna itu menjadi magnet bagi warga dari berbagai daerah, bahkan negara, untuk bersedekah apam.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Apam yang kemudian disebar ke kerumunan pengunjung itu disedekahkan, tidak hanya oleh warga dari wilayah Kecamatan Jatinom dan sekitarnya, tapi juga dari luar negeri.
“Ada yang dari Batam, Malaysia, hingga Brunei Darussalam. Mereka datang langsung ke sini ikut sedekah apam. Mereka tidak bisa Bahasa Indonesia dengan lancar. Jadi mereka warga asli negera tersebut,” kata Koordinator Pelaksana Yaaqawiyyu, Eko Santoso, saat ditemui Esposin di sela perayaan tradisi tersebut, Jumat (23/8/2024).
Warga dari Malaysia serta Brunei Darussalam itu menyedekahkan apam tidak hanya tahun ini tapi saban tahun. Eko pun mengungkapkan alasan warga luar negeri itu ikut meramaikan tradisi Yaaqawiyyu yang sudah berumur empat abad.
“Saya pernah bertemu. Mereka mengapresiasi dan memiliki ketertarikan untuk lebih tahu secara langsung. Dia bilang tidak mudah menciptakan event seperti ini. Orang tanpa diundang bisa datang di hari yang sama tepat waktu dan tidak salah hari,” jelas Eko.
"Mereka berpikir ini menjadi sebuah kebudayaan yang diciptakan oleh orang luar biasa. Dia bilang seorang menteri sekalipun tidak akan mampu menciptakan seperti ini," tambah Eko.
Dalam tradisi itu, apam yang dibagikan atau disebar panitia dari puncak dua menara sebagian besar dari sumbangan warga. Tanpa diminta atau diberikan subsidi anggaran, warga secara sukarela berbondong-bondong mendatangi panitia ingin menyedekahkan apam saban tradisi itu digelar.
Ada yang membikin sendiri apam yang disedekahkan, ada pula yang membeli menyerahkan ke panitia di menara Lapangan Klampeyan. Berat apam yang disedekahkan setiap tahun kian bertambah.
Eko mengungkapkan berat total apam yang disedekahkan warga diperkirakan lebih dari 6,5 ton. “Mindset warga sudah terbentuk bahwa ini adalah budaya mereka sendiri dan ada makna filosofinya,” ungkap Eko.
Tradisi itu digelar saban Bulan Safar. Usia tradisi itu diyakini sudah berlangsung selama 405 tahun. Eko pun membenarkan tradisi itu tak pernah absen digelar.
“Pada masa konfrontasi pun dilaksanakan walau lokasinya dipindah. Begitu pula saat pandemi beberapa tahun lalu tetap terlaksana tetapi ala pandemi dengan dibagikan melalui driver ojol,” ungkap Eko.
Sederet Makna Filosofis
Tradisi yang diwariskan Kiai Ageng Gribig itu penuh makna. Eko mengungkapkan salah satu pesannya yaitu untuk selalu bersedekah.“Kemudian orang datang berduyun-duyun saling berdesakan berebut kue apam. Sebenarnya kan beli saja bisa. Ini maknanya kalau ingin mendapatkan sesuatu ya ayo berusaha,” jelas Eko yang juga pengurus Pengelola Pelestari Peninggalan Kiyahi Ageng Gribig (P3KAG) Jatinom Klaten.
Makna lain yakni pesan bagi para pemimpin untuk melayani semua rakyatnya tanpa pandang bulu. “Dalam tradisi ini petugas menyebarkan dari atas atau puncak menara. Ini juga memiliki makna filosofi, ketika mendapatkan amanat berada di atas harus melayani secara utuh. Jangan hanya yang dekat saja,” kata dia.
Salah satu warga yang bersedekah apam pada tradisi Yaaqawiyyu tahun in adalah Poyem, 70, warga Desa Jungkare, Karanganom. Seusai berjualan, pedagang sayur keliling itu sengaja datang sendiri ke Lapangan Klampeyan untuk menyerahkan 22 biji apam ke panitia.
Dia kemudian mendapatkan dua apam dari panitia. “Biasanya bikin sendiri sedekah 35 biji. Tetapi ini tadi beli, sedekah 22 biji apam,” kata Poyem.
Poyem mengaku lega setelah bisa menyedekahkan apam ke panitia untuk disebar pada puncak tradisi itu. Tak ada yang menyuruh Poyem untuk ikut bersedekah. Dia sukarela datang menyerahkan apam ke panitia.
“Ini sebagai bentuk kemantaban. Kalau sudah sedekah rasanya tenang. Harapannya rezeki tambah lancar, saya tambah tekun beribadah dan mengaji,” kata Poyem.
Sementara itu, puncak tradisi sebaran apam Yaaqawiyyu digelar bakda Salat Jumat. Warga sudah menyemut memenuhi Lapangan Klampeyan hingga lereng-lereng di sekitarnya. Bahkan, akses masuk ke lapangan penuh sesak bak lautan manusia.
Saat apam mulai dibagikan, mereka saling menengadah dan mengangkat kedua tangan demi mendapatkan apam yang disebar petugas dari dua menara. Meski di tengah terik matahari, ribuan orang bersuka cita mendapatkan apam yang terbang ke berbagai arah.
Tradisi budaya sebaran apam Yaaqawiyyu merupakan tradisi yang sudah berlangsung selama empat abad. Yaaqawiyyu sendiri diambil dari doa Kyahi Ageng Gribig, seorang ulama besar penyebar agama Islam di Jawa Tengah.