Esposin, WONOGIRI — Tradisi ganti nama bagi pria setelah menikah atau dikenal dengan istilah ganti jeneng tuwa sudah ada di kalangan masyarakat Jawa sejak dulu, termasuk di Wonogiri. Karena tradisi itu, tak aneh jika pria Jawa memiliki dua nama, yaitu nama ketika muda atau belum menikah dan nama tua atau nama setelah menikah.
Tradisi ganti jeneng tuwa ini memiliki beragam makna filosofis, di antaranya sebagai pengingat bahwa orang yang menyandang nama tersebut sudah dewasa, tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya melainkan sudah memiliki tangggung jawab sendiri terhadap istri dan anak-anaknya.
Di Wonogiri, tradisi tersebut juga lestari di masa lalu. Namun kini tradisi itu disebut sudah mulai ditinggalkan. Salah satu warga yang masih menganut tradisi itu adalah Pur. Pria berusia lebih dari 60 tahun asal Kecamatan Bulukerto itu sebenarnya memiliki nama asli Sudiyono.
Tetapi kebanyakan orang memanggilnya Pur atau Pak Pur. Nama itu dia dapatkan ketika melepas masa lajang atau menikah. Pada zaman dahulu, menurut Pur, mengganti nama bagi laki-laki saat menikah adalah hal lumrah.
Banyak orang melakukan hal itu karena sudah tradisi turun-temurun. Beberapa orang tua di Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, pun masih banyak yang memiliki dua nama. Tetapi, sekarang tradisi ganti nama saat melepas masa lajang itu sudah jarang dilakukan.
“Orang-orang panggil saya Pur, begitu saja. Nama asli saya Sudiyono. Secara administrasi ya Sudiyono, nama dari lahir. Pur itu nama setelah saya menikah,” kata Pur saat dihubungi Esposin, Selasa (30/7/2024).
Warga Wonogiri lainnya, Abdul Aziz, 35, mengatakan meski sudah menikah belasan tahun lalu, dia tidak berganti nama. Bapak dua anak ini mengaku mengetahui tradisi ganti nama bagi laki-laki sesudah menikah. Namun, ia tahu tradisi sudah ada sejak zaman dulu. Orang-orang tua di desanya juga masih ada yang memiliki nama ganda karena tradisi itu.
Simbol Status Sosial
“Sekarang sudah tidak ada yang ganti nama saat nikah. Tapi kalau nama alias masih banyak. Saya sendiri juga ada nama alias. Orang-orang desa malah lebih tahu nama alias saya ketimbang nama asli saya. Nama itu panggilan teman-teman ke saya dari saya masih remaja, bukan karena saya menikah,” ujarnya.Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Wonogiri, Eko Sunarsono, menyampaikan masyarakat menamakan tradisi ganti nama saat melepas masa lajang bagi laki-laki itu dengan istilah ganti jeneng tuwa. Dulu, tradisi itu dilakukan di semua wilayah Kabupaten Wonogiri.
“Sekarang sudah jarang sekali. Kalau dulu itu kan tujuannya ya macam-macam, bisa sebagai doa, menandakan sudah berkeluarga, dan simbol status sosial,” kata Eko.
Dia menjelaskan dahulu penggantian nama itu dilakukan berbarengan dengan sepasaran pernikahan. Kala itu, orang-orang mengganti nama karena pencatatan administrasi kependudukan tidak sebaik dan seketat sekarang.
Jarang sekali orang yang mempunyai akta kelahiran. Bahkan banyak yang tidak memiliki kartu tanda penduduk, sehingga penggantian nama menjadi lebih mudah.
Meski masuk dalam generasi tua, Eko mengaku tidak termasuk orang yang mengganti nama setelah menikah. Tetapi bapak dan kakek buyutnya melakukan hal itu. Dia mencontohkan ayahnya memiliki nama Jaya Pramono setelah menikah. Sementara nama kecil ayahnya adalah Suparmo.
“Dulu itu ada nama-nama tertentu untuk kalangan tertentu saja. Jadi ada beberapa jeneng tuwa yang tidak bisa digunakan sembarang orang,” ujarnya.
Menurutnya, sekarang tradisi mengganti nama saat melepas masa lajang itu hampir punah di Kabupaten Wonogiri. Sangat jarang warga Wonogiri di daerah-daerah pelosok pedesaan sekali pun yang mengganti nama saat menikah.