by Tri Rahayu - Espos.id Solopos - Senin, 6 Maret 2023 - 18:55 WIB
Esposin, SRAGEN — Luas tanaman padi yang tergenang air saat banjir luapan Bengawan Solo yang tercatat Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Sragen mencapai 864 hektare. Meski dari ratusan hektare padi yang terendam itu tidak ada yang puso atau gagal panen, produksinya anjlok. Di sisi lain, ada 2 hektare tanaman cabai dan bawang merah yang gagal panen akibat masalah serupa.
Kepala DKP3 Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari, mengungkapkan luas tanaman padi yang tergenang air tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dampak banjir pada 19 Feruari 2023 yang mencapai 1.016,5 hektare.
“Ya, dampaknya lebih luas saat banjir pada Feruari lalu daripada awal Maret ini. Sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah untuk para petani terdampak. Kalau yang puso hanya dua hektare di wilayah Desa Kecik, yakni 1 hektare untuk tanamam cabai dan 1 hektare untuk tanaman bawang merah,” jelasnya kepada Soloos.com, Senin (6/3/2023).
Eka menjelaskan padi yang tergenang air selama dua hari itu kalau dalam kondisi tegak dengan panas cukup masih baik. Tetapi kalau padinya roboh maka kualitasnya turun. Kapasitas produksinya tidak berpengaruh hanya kualitasnya yang menurun.
“Kalau dijual itu sebenarnya laku, tetapi harganya jatuh karena kualitasnya menurun. Harga gabah kering panen di pasaran normal Rp4.300/kg. Data dari lapangan, padi yang terkena banjir ada yang laku dengan harga Rp3.900/kg,” jelas Eka.
Ia menjelaskan padi yang tergenang air itu rata-rata berumur 70-95 hari. Tidak ada padi yang mrapu atau berbunga yang tergenang air.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, menyampaikan dulu pernah ada asuransi tetapi hitungannya per musim. Sekarang tidak ada petani yang ikut asuransi karena proses pencairannya ribet sehingga petani tidak mau ikut asuransi. Dia menerangkan padi yang tergenang air itu dampaknya dilihat dari kondisi padinya.
“Kalau padi baru mrapu kemudian tergenang air jelas tidak bisa panen karena gagal berbuah. Tetapi kalau sudah tua dan siap dipanen biasanya turun kualitas dan kuantitasnya. Turunnya bisa sampai 20%. Semakin lama padi itu tidak segera dipanen maka bisa turun sampai 30%,” ujarnya.
Beras yang dihasilkan dari padi yang terendam air, sambung Suratno, biasanya kualitasnya juga buruk karena mudah patah sehingga menjadi menir. Selain itu, warna beras tidak bening tetapi agak kekuning-kuningan.
“KTNA berharap ada perhatian dari pemerintah. Minimal ada bantuan bibit untuk tanam berikutnya. Syukur-syukur ada tambahan jatah pupuk bersubsidi dan pestisidanya. Yang paling banyak memakan biaya itu adalah pupuknya,” katanya.
Dia sudah berkomunikasi dengan anggota DPR dan ada peluang permohonan bantuan bibit itu akan dikabulkan Kementerian Pertanian. Petani diminta membuat rencana sasaran bantuan yang diajukan ke Kementan.
1 Gedongan Plupuh 25 hektare
2 Sidokerto Plupuh 5 hektare
3 Jabung Plupuh 10 hektare
4 Gawan Tanon 8 hektare
5 Jono Tanon 12 hektare
6 Padas Tanon 8 hektare
7 Pengkol Tanon 18 hektare
8 Suwatu Tanon 5 hektare
9 Jambanan Sidoharjo 107 hektare
10 Patihan Sidoharjo 157 hektare
11 Taraman Sidoharjo 68 hektare
12 Pringanom Masaran 149 hektare
13 Jati Masaran 14 hektare
14 Sidodadi Masaran 21 hektare
15 Pilang Masaran 17 hektare
16 Kliwonan Masaran 23 hektare
17 Krikilan Masaran 137 hektare
18 Kedungupit Sragen Kota 6 hektare
19 Tangkil Sragen Kota 12 hektare
20 Bedoro Sambungmacan 1 hektare
21 Cemeng Sambungmacan 25 hektare
22 Banaran Sambungmacan 3 hektare
23 Tanggan Gesi 17 hektare
24 Newung Sukodono 16 hektare
Total 864 hektare