by Nugroho Meidinata - Espos.id Solopos - Selasa, 5 April 2022 - 13:12 WIB
Esposin, SOLO — Pernah ada tradisi unik selama Ramadan di Solo, yakni menyalakan petasan dhul, sebagai pertanda waktu berbuka puasa.
Tradisi ini sangat dikenal oleh masyarakat Kota Solo pada 1980-an. Dhul sendiri merupakan petasan yang dinyalakan dari bawah dan melesat serta meledak ke udara dengan ketinggian puluhan meter. Bunyi petasan ini menggelegar hingga mencapai beberapa kilometer.
Dari informasi yang diperoleh dari unggahan pengelola akun Instagram @solozamandulu, petasan ini dinyalakan di Masjid Agung Keraton Solo dan Masjid Tegalsari yang berada di pusat Kota Solo.
Baca Juga: Tradisi Puasa Ramadan di Solo Ini Telah Tiada, karena Dianggap Bahaya
Tradisi unik selama Ramadan di Solo sebagai penanda waktu berbuka puasa di Kota Bengawan. Tetapi, karena dianggap berbahaya, dhul akhirnya diberhentikan.
"Saat menyalakan dhul, salah seorang takmir Masjid Agung akan memasang bumbung atau semacam meriam kecil untuk landasan lontar ke udara. Setelah itu, sumbu dhul sepanjang satu meter tersebut disulut menggunakan api. Dalam sekejap, dhul yang sejenis petasan itu melesat ke udara dan menimbulkan suara sangat keras," jelas pengelola akun Instagram @solozamandulu.
Baca Juga: Ini Hukum Sebenarnya Menukar Uang Baru saat Lebaran Menurut Islam
Menurut pengelola akun Instagram @solozamandulu, jika muazin belum mendengar suara dhul, mereka tidak akan mengumandakna azan magrib.
Karena berbahaya, pertanda waktu berbuka puasa Ramadan di Kota Solo ini digantikan oleh bunyi sirine. Namun, istilah dhul tetap dipertahankan hingga sekarang.
Baca Juga: Kenapa Dinamakan Salatiga? Ternyata Begini Asal Usulnya
"Sekitar tahun ‘90an, dhul diganti dengan bunyi sirine yang dikeraskan melalui mikrofon Masjid Agung supaya didengar oleh warga Kota Solo. Tradisi mungkin saja telah menghilang, tapi istilah bisa kita lestarikan. Mari kita biasakan menggunakan istilah-istilah ini," pungkas pengelola akun Instagram @solozamandulu.
Baca Juga: Ada Sebelum Era Wali Songo, Siapa Pendiri Masjid Tertua di Indonesia?