Salah satu yang mengganggu pikiran ibu-ibu penghuni lahan relokasi Ngemplak Sutan yakni sertifikat tanah yang tak kunjung turun. Padahal bulan Juni tahun ini, tepat dua tahun WPH relokasi tinggal di Ngemplak Sutan. “Sebenarnya sudah sekeca (enak-red)di sini, tapi sayang sertifikat belum keluar. Padahal bisa 'disekolahkan' untuk biaya perbaikan rumah, bisa juga untuk tambahan biaya sekolah,” ungkap Pujiyati, 48. Ucapannya pun diiyakan ibu-ibu yang lain.
Persoalan lain lahan relokasi Ngemplak Sutan yakni adanya beberapa unit rumah yang belum ditempati. Dari 111 rumah warga pemegang hak (WPH) ada juga rumah yang lain dikomersialkan oleh pemegang hak dengan cara disewakan. Selain itu mereka juga mengungkapkan buruknya kualitas rumah relokasi garapan Pokja Relokasi Kelurahan Pucangsawit.
Sedangkan beberapa WPH relokasi di Mipitan, Mojosongo mengeluhkan minimnya fasilitas umum seperti pasar tradisional dan angkutan umum. Bahkan beberapa WPH sampai harus beralih profesi berjualan barang kebutuhan sehari-hari rumah tangga seperti sabun, makanan ringan dan keperluan dapur. Angkutan umum nomor 04 yang memegang trayek melalui Mipitan terhitung jarang melintas. Pada sore dan malam hari warga kesulitan mendapatkan angkutan umum dari dan menuju Mipitan.
Seperti diungkapkan oleh Ariyo, 32, WPH relokasi di Mipitan asal bantaran Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Sewu. “Saya pernah jalan kaki dari Sekar Pace sampai sini, setelah itu langsung dheleg-dheleg turu,” katanya. Dia berharap Pemkot Solo menyediakan pasar tradisional tidak jauh dari lahan relokasi. Selain itu Pemkot, menurut dia harus memikirkan persoalan adanya sejumlah WPH yang kehilangan pekerjaan karena ikut relokasi. Hal itu diakui juga oleh Bowo, warga bantaran Bengawan Solo asal Sewu yang belum menempati lahan relokasi. “Empat pekerja saya ikut relokasi sehingga saya harus antar jemput pakai sepeda motor,” keluh dia.