Esposin, SOLO – Sebuah insight baru saya peroleh setelah mendengar podcast di kanal Youtube Malaka Project yang menghadirkan dokter Roslan Ryu Hasan. Dia seorang dokter spesialis bedah saraf yang juga influencer.
Salah satu pernyataan dia yang membuka pikiran saya adalah mengenai otak bekerja. Ia menyebut bagian tubuh paling penting ini sebenarnya hanya bekerja untuk memastikan kita mampu bertahan hidup alias survival.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Dari situ ide maupun gagasan bahwa ada manusia yang mencoba mencari cara bagaimana bisa hidup selama mungkin, bahkan kalau bisa mencapai keabadian—seperti banyak diceritakan dalam film-film—jadi masuk akal bagi saya.
Konon Nabi Adam alaihissalam akhirnya luluh mau memakan buah terlarang juga karena digoda setan yang menawarkan kehidupan abadi. Wallahu'alam. Tagline Gojek "Selalu Ada Jalan" menggambarkan dengan tepat bagaimana otak kita bekerja. Selalu mencari jalan keluar dari permasalahan hidup agar kita bisa terus bertahan.
Selama kita punya otak dan mau menggunakan maka seharusnya kita bisa bertahan hidup. Masalah berhasil atau tidak, itu takdir. Tugas kita hanyalah memilih mau menggunakan otak kita atau tidak.
Mau menggunakan otak artinya kesempatan untuk survive ada, namun jika tidak, ya kesempatan itu tak ada. Bagi orang yang memercayai teori evolusi Charles Darwin, mungkin akan memahami starting point antara manusia dan hewan itu sama dalam cara bertahan hidup.
Keduanya sama-sama mengandalkan naluri karena dua makhluk hidup ini saja yang diberi otak oleh Tuhan, tumbuhan tidak. Begitu perut terasa lapar, secara naluriah otak memberikan sinyal kepada organ tubuh lain agar mencari makan.
Ketika mata melihat atau telinga mendengar ada sesuatu yang mengancam, otak memberikan sinyal kepada kaki untuk lari menjauh atau tangan untuk melawan.
Otak manusia berkembang jauh lebih pesat ketimbang otak hewan yang hingga kini masih mengandalkan insting. Otak manusia berkembang dari naluri yang kemudian diproses menjadi logika dan rasionalitas, meskipun kerap juga berpikir irasional.
Dari perkembangan otak ini, manusia bisa menciptakan cara agar bisa survive dengan metode yang lebih baik dan mudah. Berangkat dari situ muncullah berbagai macam terobosan teknologi yang semakin memudahkan hidup dan mempertahankannya.
Dulu pada abad ke-14, orang di berbagai belahan bumi ini takut dengan pandemi black death atau kematian hitam. Saat itu ada 200 juta orang kehilangan nyawa. Bertahun-tahun setelahnya, manusia berpikir untuk membongkar penyebab dari pandemi itu dan bagaimana cara mengobatinya.
Itu berhasil. Semua dilakukan agar manusia bisa bertahan. Begitu pula saat pandemi Covid-19, terlepas dari banyak konspirasi yang menyelimuti, manusia akhirnya berhasil menemukan cara untuk mengatasi.
Kini, sejumlah orang mulai meninggalkan otak karena bergantung pada teknologi yang kian maju. Smartphone justru membuat orang jadi tidak smart. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) membuat otak tidak lagi diperlukan.
Akui saja. Menyelesaikan perhitungan sederhana saja kita kadang-kadang malas menggunakan otak, memilih pakai kalkulator di smartphone kita. Banyak anak enggan menghafal nama-nama suku di Indonesia karena saat dibutuhkan tinggal membuka Google.
Dengan ChatGPT, Gemini AI, Bing AI banyak pekerjaan bisa dilakukan tanpa susah payah. Ketergantungan kita pada teknologi akan semakin tinggi seiring berjalannya waktu.
Saat ini kita sebenarnya menjadi cyber organism alias cyborg karena mengandalkan teknologi untuk menggantikan tugas otak kita seperti contoh di atas. Tinggal masalah waktu saja benda-benda berteknologi canggih itu diimplan ke dalam tubuh kita.
Gambaran cyborg dengan fisik setengah manusia setengah robot seperti di film-film saat ini memang belum terlihat, tapi sepertinya kita sedang menuju ke sana, tak lama lagi.
Sebagai gambaran, Elon Musk saat ini terus berupaya menanamkan chip Neuralink ke otak manusia. Kalau ini terjadi, chip ini memungkinkan kita mengontrol perangkat elektronik hanya dengan pikiran kita.
Entah ini bakal jadi sesuatu yang bagus atau menyeramkan. Otak yang tidak sering digunakan maka kemampuannya akan turun. Menurunnya kemampuan otak berdampak turun juga kemampuan manusia bertahan hidup.
Saat kemampuan itu hilang, hilang juga manusia. Bumi di-reset. Berkat otak, angka harapan hidup manusia semakin bertambah. Menurut data Bank Dunia, pada 1950 angka harapan hidup manusia secara global adalah 48 tahun.
Pada 1990 menjadi 62 tahun dan pada 2020 meningkat menjadi 72 tahun. Pada 1950-an, jumlah penduduk di bumi hanya 2,5 miliar jiwa. Saat ini, menurut Worldometer, jumlah penduduk bumi sekitar 8,1 miliar jiwa.
Jumlah tersebut akan semakin bertambah dengan semakin baiknya kemampuan otak manusia mencari cara bertahan hidup. Banyak orang yang bertahan hidup, semakin banyak populasi di Bumi.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah bertambahnya populasi manusia menjadi hal positif? Ini debatable. Tergantung dari sudut mana kita menganalisisnya. Banyak kalangan yang memandang meledaknya populasi manusia akan memicu terjadinya ketidaksimbangan.
Banyaknya manusia tak sebanding dengan kemampuan alam menyediakan semua kebutuhan mamalia ini. Akan terjadi perebutan sumber daya. Tingkat kelaparan, kejahatan, dan penderitaan meningkat.
Gagasan tingginya populasi manusia berdampak negatif bagi alam semesta banyak dituangkan dalam berbagai karya seperti film Avenger: Infinity War dan Avenger: Endgame. Thanos berupaya menghancurkan setengah populasi semesta dengan alasan menjaga keseimbangan alam semesta.
Novelis terkenal asal Inggris, Dan Brown, mencuatkan gagasan serupa melalui karya yang berjudul Inferno. Pada saat daya dukung bumi menampung banyak manusia mencapai batasnya, terjadilah kehancuran sebenarnya. Apokaliptik. Bumi kembali di-reset. Klik, Thanos menjentikkan jarinya.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)