Esposin, SOLO--Komite Peduli Cagar Budaya Nusantara (KPCBN) mendukung langkah Pemkot untuk melarang pedagang Sekaten membuka dhasaran di Benteng Vastenburg. KPCBN menegaskan penggunaan kawasan benteng untuk kegiatan lebih dari dua hari wajib melalui izin Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Ketua Presidium KPCBN, Agus Anwari, saat ditemui wartawan di The Sunan Hotel, Rabu (17/12/2015), mengatakan pengajuan izin ke BPCB penting untuk mengkaji dampak maleman Sekaten bagi kondisi cagar budaya di kawasan benteng. Menurut Agus, harus ada kajian terukur lantaran acara maleman digelar hingga satu bulan.
“Siapa yang bisa menjamin tidak ada kerusakan di benteng saat penyelenggaraan Sekaten? Kami sepakat dengan Pemkot (wahana permainan dan PKL) harus segera dipindah,” ujarnya.
Agus mengatakan risiko kerusakan benteng dapat terjadi akibat hiruk pikuk dari wahana permainan seperti tong setan. Menurut Agus, belum ada pembuktian dinding benteng tahan dengan gelombang suara yang berlangsung sebulan penuh. Praktik vandalisme juga rawan menyasar bangunan cagar budaya (BCB) jika kegiatan tetap digelar.
“Secara estetika kota, penempatan maleman Sekaten di Vastenburg pun kurang pas. Belum lagi potensi kemacetan yang setiap saat bisa terjadi,” kata dia.
Pihaknya meminta Keraton Solo legawa dan menerima opsi Alun-alun Kidul (Alkid) sebagai lokasi pengganti. Selain memiliki luasan yang memadai, Agus menyebut risiko kerusakan BCB lebih kecil jika kegiatan ditempatkan di Alkid. Dia juga sepakat Jl. Paku Buwono disterilkan dari dhasaran pedagang.
“Dulu Jl. Paku Buwono masih bisa dipakai karena Pasar Klewer belum terbakar. Sekarang kondisinya kan beda, potensi kemacetan bertambah. Ini yang mestinya dipahami setiap stakeholder.”
Sejarawan muda Solo, Heri Priyatmoko, menilai ada salah kaprah pemahaman ihwal terminologi Sekaten dan Maleman Sekaten. Dia melihat sebagian publik memandang bazar atau pasar malam di Sekaten adalah Sekaten itu sendiri. “Padahal maleman atau wahana-wahana permainan itu hanya pendukung. Yang terpenting adalah ritual Sekaten yang digelar di Masjid Agung,” ujarnya kepada Esposin.
Oleh karena itu, Heri mendorong polemik lokasi Maleman dapat diletakkan secara proporsional dengan memertimbangkan kepentingan publik serta perawatan cagar budaya. Dia mengatakan tak ada gunanya Pemkot dan Keraton mengotot ihwal lokasi Maleman Sekaten.
“Kalau ritual Sekaten dipindah, itu baru tragedi sejarah,” ucapnya.