Esposin, KARANGANYAR -- Tawangmang menjadi kawasan wisata utama tidak hanya bagi Kabupaten Karanganyar, melainkan Soloraya. Kawasan di lereng Lawu, gunung tertinggi ketiga di Jawa Tengah, ini menjadi magnet bagi wisatawan dari berbagai daerah untuk berwisata dan healing.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Selain menyuguhkan panorama alam nan eksotis Gunung Lawu, juga menyimpan sejarah di masa lampau. Terlihat dari bangunan-bangunan berarsitektur Eropa tersebar di Tawangmangu. Bangunan ini dulu menjadi tempat singgah idola para bangsawan Belanda saat berlibur menikmati suasana alam pegunungan.
Menurut tokoh masyarakat Tawangmangu yang juga Pembina Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Karanganyar, Karwadi, sejarah Tawangmangu tidak lepas dari zaman Mangkunagoro I, Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, yang tengah bertapa di wilayah Gunung Lawu. Dari atas puncak Lawu, saat itu Pangeran Sambernyawa termangu mangu melihat ke bawah.
"Sejak itu dikenal dengan sebutan Tawangmangu," kata dia ketika berbincang dengan Esposin, Jumat (21/7/2023).
Tanah-tanah di kawasan Tawangmangu saat itu banyak dimiliki Mangkunegaran. Kemudian di era penjajahan Belanda sebagian beralih ke Pemerintah Kolonial. Para bangsawan Belanda ini lantas membangun vila-vila di kawasan Tawangmangu. Mereka pun kerap singgah untuk menikmati suasana alam pegunungan di Tawangmangu.
Setelah Indonesia merdeka, Tawangmangu mulai banyak didatangi tuan-tuan tanah. Mereka merupakan warga keturunan Tionghoa yang datang untuk membeli tanah-tanah di Tawangmangu. Lantas membangun vila dan penginapan di sana.
"Mulai era setelah G30S-PKI, Tawangmangu ramai berdiri penginapan dan vila. Termasuk warga pribumi Tawangmangu yang membuka penginapan," kata dia.
Hotel Pertama di Tawangmangu
Karwadi menyebut ada satu hotel legendaris yang kali pertama di bangun di Tawangmangu. Hotel itu bernama Maliawan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Hotel tersebut dibangun sekitar 1967-an. Kemudian oleh Pemkot Solo, hotel ini dilepas kepemilikannya dan kini dimiliki perseorangan.Sayangnya nasib Hotel Maliawan sekarang tak terawat. Kondisi bangunan juga sebagian sudah rata dengan tanah. "Jane eman-eman tidak terawat. Tapi bagaimana lagi, sudah dilepas Pemkot Solo karena merugi," kata dia.
Karwadi mengatakan kawasan wisata Tawangmangu mengalami pertumbuhan sejak tahun 1970-1980-an. Di mana saat itu mulai banyak dibangun penginapan, pondok wisata, vila dan hotel. Bahkan kini banyak hotel-hotel berbintang dibangun di Tawangmangu.
Dari catatan PHRI, ada 276 pondok wisata, vila, glamping dan hotel tersebar di Tawangmangu dengan harga sewa Rp75.000 hingga Rp1 jutaan per malam. Karwadi merupakan salah satu warga asli Tawangmangu yang menjadi pelaku usaha wisata di sana. Ia memiliki tiga hotel kelas melati, yakni Hotel Wahyusari 1 dan 2, serta Hotel Salamta.
"Saya bangun hotel kecil-kecilan dari tahun 1980-an. Kondisinya sekarang kalah dengan yang besar dan baru-baru," kata dia.
Karwadi hanya berharap Pemkab Karanganyar lebih meningkatkan promosi bagi pondok wisata atau hotel kelas melati yang banyak dimiliki warga lokal Tawangmangu. Sehingga, keberadaannya tak kalah dengan hotel milik investor yang merupakan para pendatang di Tawangmangu.