Esposin, KLATEN -- Rumah tua bergaya lama di Dukuh Sendang Nglebak RT 001/RW 009, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai rumah sakit atau RS Geger.
Hal itu tak lepas dari sejarah masa lalu rumah itu yang sempat menjadi rumah sakit darurat bagi para pejuang dan gerilyawan semasa perang kemerdekaan.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Berlokasi tak jauh dari Rawa Jombor, rumah itu diketahui milik Notodarsono, seorang kawan dari dr Sardjito, tokoh pahlawan nasional yang namanya diabadikan menjadi nama RS di Jogja yakni RSUP dr Sardjito.
Dengan luas lahan 220 meter persegi dan luas bangunan 9 meter x 12 meter, rumah yang kemudian dikenal sebagai RS Geger tersebut kala itu merupakan rumah terbaik di wilayah Krakitan, Bayat, Klaten.
Di rumah itulah, dr Sardjito pernah membantu perjuangan melawan penjajah dengan mengobati para pejuang dan warga yang terluka pada masa perang kemerdekaan. Rumah itu menjadi semacam rumah sakit darurat.
Rumah itu memiliki tembok bata tebal dan beratap genting. Tak jauh dari rumah itu ada posko PMI. Lokasinya persis di dekat masjid.
Salah satu warga setempat, Warno Pawiro alias Sumirin, yang tinggal di sebelah RS Geger, Krakitan, Bayat, Klaten, mengaku masih kecil saat dr Sardjito merawat para pejuang kemerdekaan tahun 1940-an.
Saat diwawancarai Esposin pada 2018 lalu, perempuan tersebut berusia 90 tahun. Ia menceritakan apa yang diingatnya mengenai situasi kala itu. Seusai kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Belanda kembali datang berusaha menancapkan kembali cakar koloninya di Indonesia.
Bersembunyi di Gua
“Hampir setiap pagi terdengar bunyi cannon terbang di atas rumah. Nyiuuu... kalau tinggi jatuhnya di rawa [Rowo Jombor]. Kalau rendah jatuhnya di [Bukit] Turis. Jadi ambyar ke mana-mana,” tutur Sumirin.Meriam-meriam itu, menurut kisah Sumirin, dikirimkan dari Stasiun Kereta Api (KA) Klaten. Warga di sekitar stasiun banyak yang mengungsi ke selatan, ke arah perbukitan, salah satunya kawasan Desa Krakitan.
Di Krakitan, Bayat, Klaten, para gerilyawan dan warga juga bersembunyi di gua tak jauh dari RS Geger. Sumirin mengungkapkan kala itu dr Sardjito dan istri tidak tinggal di rumah itu.
Mereka tinggal di rumah warga lain bernama Asma Ali yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah sakit darurat. Setiap pagi, dr Sardjito dan istrinya datang ke RS darurat itu untuk merawat orang-orang.
"Obat-obatan disimpan di rumah lain. Saya sering ambil logistik untuk dibawa ke sini,” kenang dia.
Saat merawat pasien, dr. Sardjito dibantu beberapa perawat. Mereka datang dan pergi mengikuti perkembangan situasi peperangan. Ada dua perawat yang masih diingat Sumirin, yaitu Giyanto dan Trisono.
Sumirin sering mengobrol dengan keduanya terutama saat merebus air panas. Sumirin kecil sering disuruh membantu memanaskan air untuk mengobati pasien yang datang ke RS Geger, Krakitan, Bayat, Klaten.
"Kadang bantu ibu [Ny Sardjito] mengangkati piring untuk makan. ‘Nduk, bawa piringnya enggak usah banyak-banyak nanti jatuh,’” kata Sumirin menirukan Ny Sardjito.
Dari pantauan Esposin pada 2019 lalu, meski rumah-rumah lain di sekitarnya sudah berubah menjadi bangunan yang lebih modern, termasuk rumah Asma Ali dan rumah untuk menyimpan obat-obatan sekaligus tempat tinggal perawat, bangunan RS Geger di Krakitan, Klaten, itu masih seperti bangunan aslinya.
Gelar Pahlawan Nasional
Tampak luar, rumah berdinding tembok berwarna putih lusuh dimakan usia dan cuaca itu terdiri atas tiga pintu dan lima jendela kayu. Pada bagian dalam, ada empat kayu penyangga atap rumah.Empat pintu kombinasi kayu dan kaca menjadi pintu masuk menuju ruang lainnya yang memiliki lebar tak lebih dari 2 meter. Setelah tak lagi digunakan untuk rumah sakit darurat, rumah kuno itu digunakan sebagai tempat tinggal.
Penjaga rumah yang juga keponakan Notodarsono, Wagiyo, 60, membenarkan rumah itu pernah jadi rumah sakit darurat hingga kemudian dikenal dengan nama RS Geger di Desa Krakitan, Klaten.
Selain mengobati pejuang yang terluka, dr Sardjito juga mengobati warga yang datang ke rumah itu karena sakit. Di awal-awal kemerdekaan, jumlah dokter dan tim medis masih langka.
Rumah itu seluruhnya masih autentik serupa dengan rumah saat dipakai dr Sardjito untuk rumah sakit darurat. Penjaga rumah hanya mengganti genting yang lama dengan genting baru sebab genting lama sering bocor dan dikhawatirkan merusak bangunan.
Sedangkan mengenai dr Sardjito, seperti diketahui, resmi mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada 2019. Anugerah itu diberikan lantaran dedikasi rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta periode 1950-1961 itu dalam bidang pendidikan dan kesehatan semasa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dr Sardjito juga diketahui pernah menciptakan sejumlah vaksin. Salah satu kisah yang paling fenomenal dr Sardjito adalah ketika membawa vaksin dengan menyuntikkan ke tubuh kerbau untuk dibawa dari Bandung ke Klaten, Jawa Tengah.
Selain itu, dr Sardjito juga memproduksi Biskuit Sardjito yang disuplai untuk para pejuang.