Salah seorang PKL, Laawi, 65, mengatakan Pemkot Solo melarang para PKL berjualan dengan menggunakan lapak semi permanen sejak Selasa (17/6/2014). Saat itu, Pemkot menertibkan PKL di sejumlah rusa jalan di Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres.
“Sudah mau dua bulan kami dilarang berjualan dengan lapak tenda [semi permanen]. Pemkot menyuruh kami untuk mengganti dengan gerobak yang bisa didorong. Ya itu, Pemkot hanya melarang dan menyuruh saja tanpa mau memberikan bantuan kepada kami,” kata Laawi, saat dijumpai Esposin, di depan RSUD dr. Moewardi, Rabu (6/8/2014).
Laawi berharap Pemkot memberikan gerobak kepada PKL sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Setelah mendapat gerobak sesuai aturan Pemkot, lanjut Laawi, PKL merasa nyaman untuk tetap berjualan. PKL tidak lagi merasa hawatir mengenai ancaman penggusuran atau larangan berjualan oleh Pemkot.
“Sampai sat ini belum ada bantuan atau tanggungjawab dari Pemkot. Kami berusaha membeli gerobak sendiri. Apa Pemkot tidak tahu kami masyarakat kecil? Cari untung [dari berjualan] saja sulit. Malah kami disuruh membeli gerobak sendiri. Uang dari mana coba?” ujar Laawi.
Seorang PKL lain yang tidak mau disebut namanya, mengatakan setiap hari dia mengeluarkan uang tambahan senilai Rp20.000 untuk membayar tenaga pendorong gerobak. Dia tidak kuat mendorong gerobaknya sendiri.
“Dulu saya buka tenda makan 24 jam di sini tapi terus dilarang Pemkot. Pemkot menyuruh saya menggunakan gerobak dorong agar gerobak dibawa pulang atau bolak-balik. Akhirnya, saya juga menyediakan gerobak dorong itu. Namun, lantaran gerobak terlalu berat, saya menyewa tenaga dorong khusus,” ujar perempuan itu.
Dia menambahkan Pemkot perlu membangun tempat khusus untuk PKL berjualan di sekitar RSUD dr. Moewardi itu. “Saya menilai agar lebih mudah, Pemkot memberi PKL tempat khusus yang layak tanpa ada masalah,” ujar dia.