Esposin, SRAGEN -- Salah satu petani milenial asal Kabupaten Sragen, Eko Suwarno, 39, terus mendorong pemuda untuk menjadi pelopor dalam sektor agraris di wilayah setempat.
Ia menguraikan seiring perkembangan teknologi, pertanian bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak melulu dengan pertanian konvensional.
Promosi Kisah Perempuan Hebat Agen BRILink Dorong Literasi Keuangan di Medan
Eko menjelaskan bahwa kebanyakan petani saat ini telah berusia 50 tahun ke atas, jarang ada petani yang berusia di bawah 40 tahun. Pemuda kebanyakan tidak tertarik pada sektor agraris karena menurutnya mereka belum mengetahui hasil dari pertanian yang sesungguhnya.
Ia bersama pemuda lain yang tergabung di gabungan petani muda di Desa Mojodoyong, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen, mulai aktif menjadi pelopor anak muda untuk mulai melirik pekerjaan yang mulai jarang diminati oleh para pemuda.
"Pemuda yang bergabung dan petani muda di Mojodoyong kebanyakan masih di bawah 40 tahun, bahkan ada anak sekolah yang ikut tergabung. Jadi niatnya mencoba dulu, ketika tahu hasilnya, maka akan tertarik," terang Eko saat ditemui Esposin di rumahnya pada Jumat (6/1/2023).
Ia menguraikan bahwa bertani tidak harus pertanian konvensional dengan menggarap lahan persawahan seperti kebanyakan petani dulu. Dengan adanya teknologi di bidang pertanian yang semakin berkembang, muncullah smart farming.
"Untuk petani yang sudah sepuh kan sulit untuk menjangkau teknologi tersebut, berbeda dengan yang masih muda. Ini yang harus dipelopori supaya anak muda jadi tertarik, bertani pun tidak harus tanaman padi, banyak alternatif," ujar Eko.
Eko sendiri merupakan salah satu petani milenial yang memperoleh Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Pertanian bersama lima warga Kabupaten Sragen lainnya pada 2021 lalu.
Dia didaftarkan oleh pihak desa karena menjadi salah satu pelopor petani muda yang masih getol di bidang pertanian. Pasalnya, banyak pemuda yang memilih meninggalkan pekerjaan tersebut.
Saat ini ia bisa dibilang sukses membudidayakan tanaman anggur di lahan belakang rumahnya. Ia mengaku pada awalnya hanya coba-coba, namun saat panen pertama pada Desember 2022 lalu hasilnya bisa mencapai 200 kilogram.
Kebun anggur itu ia rintis di kebun terbengkalai di belakang rumahnya dengan luas lahan 1.000 meter persegi. Eko menanam 120 tanaman anggur dengan berbagai varietas untuk memanfaatkan lahan tidak produktif tersebut.
Prospek kebun anggur Eko bisa dibilang menjanjikan. Walaupun hasil dari panen perdana belum mengembalikan modal awal, tapi untuk selanjutnya ia memiliki keuntungan tidak harus menganti bibit tinggal melanjutkan apa yang telah dirintis
“Menanam anggur sendiri enggak perlu lahan yang luas, bahkan bisa di lahan dua meter persegi, sudah bisa panen anggur di rumah. Juga bisa ditanam pada pot misal ada keterbatasan lahan,” terangnya.
Camat Kedawung, Endang Widayanti, mengaku telah mengunjungi kebun anggur milik Eko tersebut. Sebagai salah satu orang yang menyandang Petani Milenial, Endang mengaku bangga dengan Eko dan mendukung atas keberanian dan inovasi Eko, seperti menanam anggur di wilayah setempat, karena secara geografis Kedawung memiliki iklam dan tanah yang cocok untuk menanam tanaman merambat tersebut.
"Dengan sentuhan mas Eko selaku petani Milenial tentu membuktikan kepada para warga khususnya para petani, bahwa yang namanya petani saat ini tidak harus berlumpur-lumpur. Tetapi bertani saat ini cukup dan amat sangat menjanjikan, terlebih ketika ke sana [kebun anggur], nilai ekonomis dari hasil kebun anggur tersebut sangat menjanjikan, tiap pohon bisa menghasilkan minimal tiga kilogram, bisa dijual Rp75.000/kg, Mas Eko punya 120 tanaman, coba berapa banyak uang yang masuk. Untuk tenaga keeja juga hanya membutuhkan tenaga yang sedikit tidak terlalu ribet," terang Endang.
Ia berharap dengan adanya kebun anggur tersebut bisa menjadi contoh untuk masyarakat, khususnya para petani muda, sehingga bisa tergerak untuk menanam anggur di lahan-lahan kosong, karena Eko sendiri menurut Endang, siap memberikan konsultasi untuk penanaman dan pemeliharannya.