Esposin, SRAGEN — Memasuki musim kemarau, debit air di Waduk Brambang, Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung, Sragen, menyusut. Pasalnya hampir satu bulan lamanya tidak turun hujan.
Promosi Kick Off Semarak HUT ke-129 BRI, Usung Tema Brilian dan Cemerlang
Pantauan Dalam dua pekan terakhir, debit air di waduk yang dibangun pada masa penjajahan Belanda itu sudah menyusut sehingga sedimen mulai terlihat. “Warga sekitar cukup kreatif. Sebagian warga memanfaatkan sedimen itu untuk ditanami aneka sayur-sayuran. Sedimen itu cukup gembur sehingga akan membuat tanaman subur,” terang Slamet, 45, warga sekitar saat ditemui di lokasi.
Kepala Desa Wonokerso, Sutaryo, mengakui sudah hampir satu bulan tidak turun hujan. Kondisi itu banyak dikeluhkan kalangan petani. Menurutnya, pada musim tanam (MT) II kali ini, tanaman padi sudah mulai menunjukkan buahnya. “Kalau sudah menunjukkan buahnya berarti perlu banyak air. Mau tidak mau, pintu air dari Waduk Brambang harus dibuka untuk mengairi lahan pertanian sejak tiga pekan terakhir,” jelas Sutaryo saat ditemui di kantornya.
Kebutuhan air untuk 700 hektare lahan pertanian tadah hujan di Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung dan Desa Guworejo, Kecamatan Karangmalang sangat bergantung kepada Waduk Brambang. “Di Desa Wonokerso ada 345,69 hektare lahan pertanian. Di Desa Guworejo luasannya hampir sama. Jadi, ada sekitar 700 hektare lahan pertanian yang mengandalkan pasokan air dari Waduk Brambang,” terangnya. Mengeringnya Waduk Brambang, kata Sutaryo, sudah biasa terjadi saat musim kemarau tiba. Mengeringnya waduk biasa terjadi pada akhir MT II hingga MT III. Akibat mengeringnya waduk, petani sekitar hanya bisa panen dua kali dalam setahun.