Esposin, SOLO -- Kerabat Keraton Solo, KP Eddy Wirabhumi, pernah mengajukan uji materiil peraturan perundang-undangan yang memasukkan wilayah eks Kasunanan Surakarta ke dalam Provinsi Jawa Tengah (Jateng) dan pengembalian status Daerah Istimewa Surakarta atau DIS.
Kendati sudah digagas sejak tujuh tahun sebelumnya, permohonan uji materiil itu baru tercatat di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 63/PUU-XI/2013. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu diketuai Hamdan Zoelva menolak permohonan uji materiil tersebut.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Eddy Wirabhumi yang juga Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Solo saat dihubungi Esposin, Minggu (13/2/2022), mengonfirmasi permohonan uji materiil untuk mengembalikan status DIS yang pernah ia ajukan. Ia lantas bercerita pandangannya tentang Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Baca Juga: Kenapa Daerah Istimewa Surakarta Dihapus? Begini Ceritanya
“Kalau kita kembali kepada isi konstitusi, ya selama Indonesia masih menggunakan UUD 1945, selama itu pula DIS punya hak konstitusional untuk dikembalikan. Seperti yang pernah disampaikan Profesor Yusril Ihza Mahendra dulu,” terangnya.
Pandangan itu merujuk isi UUD 1945 di mana negara mengakui dan menghormati satuan masyarakat hukum adat. “Kalau sebelumnya lagi kan negara ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah provinsi dan seterusnya, dan negara tetap mengakui dan menghormati pemerintahan asli yang sudah ada sebelum berdirinya Indonesia,” urainya.
Namun, Eddy mengakui gagasan pengembalian status DIS harus bersifat adaptif terhadap perkembangan situasi dan kondisi. “Karena Sinuhun juga sedang tidak sehat, sudah cukup lama seperti itu. Kondisi Mangkunegaran juga seperti ini. Artinya pemikiran atau gagasan pengembalian DIS harus adaptif dengan situasi dan kondisi,” terangnya.
Baca Juga: Ada Lagi Wacana Daerah Istimewa Surakarta, Netizen: Gubernurnya Siapa?
Pemimpin Keraton Tak Otomatis Jadi Gubernur
Ihwal pemimpin DIS, kerabat Keraton Solo itu mengatakan bisa merujuk poin saat penetapan UU Keistimewaan, di mana posisi pimpinan keraton tak otomatis sebagai gubernur. Sebab sudah diatur di UU No 1/1946 di mana pimpinan daerah istimewa dapat dipilih dari anak keturunan raja atau pemangku adat yang dulu menyatakan bergabung ke NKRI.“Kalau dikaitkan UU Pemda dan UU Pemilu sebetulnya itu matching dengan UU terdahulu. Kan sebenarnya kita ini menganut asas sumber dari segala sumber hukum itu Pancasila. Lalu nanti turunannya UUD 1945, turunannya UU, PP dan seterusnya. Mestinya dari itu tak boleh ada UU yang tak cocok dengan UUD 1945,” katanya.
Menurut Eddy, apa yang ia sampaikan masih inline atau matching dengan UU yang dibuat para pendahulu bangsa. “Hanya saja terkadang kita lupa karena hasrat ya. Kita membuat aturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Kan banyak sekali contohnya, banyak sekali perda yang bertentangan dengan UU,” paparnya.
Baca Juga: Wacana Provinsi Soloraya Pernah Ramai pada 2019, Tapi Beda dengan DIS
Seperti diberitakan, belakangan ini wacana pembentukan provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) kembali ramai jadi perbincangan berkat unggahan di kanal Youtube Data, 4 Februari 2022. Kanal Youtube tersebut menghimpun data sembilan usulan dan wacana pembentukan provinsi baru di Pulau Jawa.
Solo Pernah Berstatus DIS
Dari sembilan usulan dan wacana itu, tiga di antaranya dari Jawa Tengah dan salah satunya Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Pada boks deskripsi video itu, pengelola kanal menulis usulan itu berasal atau muncul dari masyarakat dan para tokoh daerh setempat, bukan dari pemerintah.Lagi pula, saat ini belum mencabut moratorium daerah pemekaran baru (DOB). “Ini adalah usulan dan wacana pemekaran provinsi di pulau jawa yang pernah muncul dari masyarakat dan para tokoh daerah tersebut bukan dari pemerintah. Ada yang sudah tidak dibahas lagi dan ada yang masih ramai sampai sekarang.”
Baca Juga: Soloraya Jadi Provinsi Baru? Begini Pendapat Kerabat Keraton Solo
Sementara itu, dalam sejarahnya Solo pernah sebenarnya pernah menyandang status Daerah Istimewa Surakarta berdasarkan maklumat Pakubuwono XII dan Mangkunagoro VII. Namun status itu hanya bertahan kurang lebih setahun pada 1945-1946. Penetapan Presiden No 16/SD Tahun 1946 mencabut status DIS.
Walaupun ada penjelasan bahwa pencabutan status DIS itu hanya sementara, namun nyatanya tidak pernah ada lagi tindak lanjut dari pemerintah ihwal status DIS tersebut.