Esposin, SOLO--Pengembangan angkutan perkotaan (angkuta) ke depan membutuhkan halte untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Upaya tersebut dilakukan sebagai langkah penataan angkutan umum mikro yang selama ini terkesan semrawut.
Hal itu disampaikan pengamat transportasi Djoko Setijowarno, kepada Esposin, Senin (15/2/2016). “Halte mendukung penataan angkuta. Sudah saatnya dibangun. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?” ujarnya.
Djoko menyebutkan pembangunan halte untuk angkutan umum mikro idealnya dibangun dengan jarak 300 meter-500 meter. “Idealnya paling tidak setiap setengah kilometer. Itu sesuai dengan standar Ditjen Perhubungan Darat untuk kebutuhan transportasi umum dalam kota,” paparnya.
Disinggung soal dampak ke penumpang yang kemungkinan akan semakin malas menggunakan transportasi publik akibat pembangunan halte, Djoko tidak menampiknya. “Semua itu butuh proses memang. Tapi ini segera harus diupayakan. Sebelum era 1990an, tidak ada angkutan umum yang berani mengangkut penumpang di luar halte. Ini saat yang tepat untuk pembenahan penataan,” katanya.
Selain membuat halte, Djoko menyebutkan penataan angkuta juga mendesak penghapusan setoran. “Sopir idealnya digaji sehingga tidak ada lagi istilah kejar setoran. Dengan penghapusan sistem setoran, operasional jarak antararmada juga bisa lebih diarahkan,” terangnya.
Menurut Djoko, keberhasilan pemerintah daerah menata transportasi publiknya bakal berdampak besar pada perubahan perilaku masyarakat. “Saat masyarakat sudah sadar dan beralih menggunakan transportasi publik, secara tidak langsung mereka juga belajar disiplin. Hampir sebagian besar negara maju yang menyediakan pelayanan transportasi publik dengan halte, warganya disiplin,” jelasnya.
Disinggung soal masih rendahnya tingkat keterisian penumpang layanan transportasi umum yang disediakan pemerintah, akademisi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang ini menyebutkan transportasi umum bukanlah komoditas.
“Transportasi umum itu kebutuhan. Tugas pemerintah menyediakan kebutuhan yang layak bagi warganya. Tata kelola transportasi umum yang baik mencerminkan wajah kotanya. Ini juga bisa menjadi indikasi kinerja birokrasinya,” kata dia.