Esposin, SRAGEN -- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen menetapkan sembilan kecamatan di lingkungannya sebagai kecamatan rawan bencana kekeringan.
Berdasarkan informasi yang diterima Esposin dari Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sragen, R. Triyono melalui Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Karanganyar, Giyanto, sembilan kecamatan itu ditetapkan sebagai rawan bencana melalui Surat Keputusan Bupati Sragen Nomor 300.2.1/437/01.3/2024 tentang Penetapan Status Siaga Darurat Bencana Kekeringan Pada Musim Kemarau 2024, tertanggal 28 Juni 2024.
Promosi Dukung Perkembangan Industri Kreatif, BRI Gelar Kompetisi Creator Fest 2024
“Keputusan itu mulai diberlakukan sejak 1 Juli hingga 31 Oktober 2024,” kata Giyanto saat ditemui Esposin di kantornya, Kamis (1/8/2024) siang.
Sembilan kecamatan itu terdiri dari Kecamatan Tangen dengan tujuh desanya, Kecamatan Sumberlawang dengan tujuh desanya, Kecamatan Miri dengan empat desanya, Kecamatan Jenar dengan empat desanya, Kecamatan Mondokan dengan enam desanya, Kecamatan Gesi dengan empat desanya, Kecamatan Sukodono dengan empat desanya, Kecamatan Tanon dengan satu desanya, serta Kecamatan Kalijambe dengan satu desanya.
Sebelumnya, ia juga menjelaskan salah satu bencana kekeringan terparah yang pernah melanda Sragen terjadi pada 2019 lalu dan itu melanda sebanyak tujuh kecamatan.
Sementara di tahun terdapat dua kecamatan tambahan yang masuk dalam daerah rawan bencana kekeringan, yakni Kecamatan Tanon dan Kecamatan Kalijambe karena dua kecamatan itu mulai mengalami kekeringan saat musim kemarau pada 2022 lalu.
“Jadi pada tahun ini yang dipetakan sebagai daerah rawan bencana kekeringan ada 9 kecamatan dengan 38 desa, 155 dukuh. Di daerah itu, saat musim kemarau akan sulit mencari air bersih terutama untuk konsumsi rumah tangga,” kata dia.
Dia menerangkan mayoritas daerah yang kerap dilanda kekeringan itu memiliki kondisi geografis dengan tanah bebatuan sekaligus kurangnya penghijauan akibat sebagian besar lahan digunakan untuk tanaman produksi semata.
Karena itu, BPBD Sragen menghimbau agar masyarakat mengimbangi penghijauan dengan tanaman keras dengan maksud agar air tanah tetap terjaga.
“Terutama pohon beringin yang rindang dan akarnya kuat. Menurut beberapa pengalaman kami, pangkalnya pohon beringin bisa menimbulkan sumber air atau yang disebut sendang oleh masyarakat,” kata dia.
Selain itu, Giyanto bercerita dalam menghadapi musim kemarau yang mungkin akan menyebabkan bencana kekeringan itu, BPBD Sragen sudah menggelar giat distribusi air bersih atau dia sebut sebagai dropping air.
Dari situ, masyarakat diimbau agar mulai menghemat air bersih dan hanya boleh memanfaatkan dropping air untuk keperluan rumah tangga, seperti memasak, minum, dan sebagainya yang tidak membutuhkan banyak air.
Distribusi air bersih itu sendiri mulai dilaksanakan sejak 16 Juli 2024 lalu.
Dengan ketersediaan air bersih lebih kurang sebanyak 500 tangki yang bersumber dari APBD Sragen dan 280 tangki yang bersumber dari APBN untuk musim kemarau Juli-Oktober 2024 ini.
“Ukuran tangkinya berbeda-beda, mulai dari 4.000 liter hingga 5.000 liter per tangki. Tapi kami enggak akan berhenti di jumlah tangki segitu. Kami terus mengupayakan berkomunikasi dengan pihak swasta atau donatur untuk mendermakan hartnya dalam bentuk dropping air,” kata dia.
Sementara, saat ditanya mekanisme distribusi air bersih, Giyanto menjelaskan BPBD Sragen dalam hal ini bekerja sama dengan PMI Sragen dan PDAM Sragen untuk pendistribusiannya ke daerah yang telah dipetakan rawan bencana kekeringan.
Dalam sehari, setidaknya proses distribusi dilakukan sebanyak tiga kali menyasar tempat-tempat yang berbeda.
“Untuk satu tempat yang sama biasanya 3-4 hari sekali dropping air. Dengan cara mengirim dari sumber air ke tandon desa yang telah disediakan,” pungkasnya.